by dr.Riki Tsan,SpM,MH
Pada 10 April 2010, Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani atau biasa dipanggil dr Ayu bersama kedua rekan sejawatnya dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian melakukan operasi Caesar terhadap pasien bernama ibu Julia Fransiska Makatey ( ibu Siska) di RS Kandou Manado yang saat itu berada dalam keadaan hamil dan gawat darurat. Bayinya berhasil diselamatkan, tetapi ibu Siska meninggal dunia.
Keluarga ibu Siska mengadukan ketiga dokter tersebut kepada aparat penegak hukum yang segera 'menyeretnya' ke pengadilan hukum. Di Pengadilan Negeri Manado ketiga dokter tersebut dinyatakan tidak terbukti bersalah dan kemudian dibebaskan
Namun, di tingkat kasasi, Hakim Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman pidana kepada mereka yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pengacara dr. Ayu  dkk  ditolak oleh hakim yang kemudian mengenakan hukuman pidana kepada dr. Ayu dkk selama 10 bulan penjara.
Berdasarkan putusan ini terhadap ketiga dokter tersebut dilakukan penahanan seperti pelaku kejahatan kriminal.
Tim Kejaksaan Agung menangkap dr. Ayu di tempat praktiknya. Ia dibawa ke Manado dengan tangan diborgol seperti layaknya seorang pembunuh dan dijebloskan ke Rutan Malendeng , sedangkan dr. Hendri dan dr.Hendi dijemput paksa dan ditangkap  di rumah mereka masing masing setelah sempat dijadikan Daftar Pencarian Orang (DPO).Â
Sontak, peristiwa ini menimbulkan keresahan serta memicu berbagai protes, demonstrasi dan aksi solidaritas yang intinya menolak kriminalisasi terhadap dr. Ayu dan kawan kawan dari seluruh dokter di Indonesia pada bulan November tahun 2013. Akhirnya, setelah melakukan upaya Peninjauan Kembali II, mereka dibebaskan.
Terkait dengan  kasus dr. Ayu dkk ini, Dr. dr. M. Nasser,Sp.DV, D.Law,  Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia dan anggota Board of Governor , World Association For Medical Law (WAML), mengatakan bahwa dalam penerapan  hukum pidana ( criminal Law ) di Indonesia semua kasus tindak pidana di bidang medik atau yang sering disebut dengan tindak pidana medik masih disamakan dan diperlakukan sebagai tindak pidana umum, termasuk diantaranya dalam menilai unsur kelalaian dan menjatuhkan sanksi pidana (pemidanaan)
Pertanyaan kita ialah, apakah sudah tepat menjatuhkan sanksi pidana terhadap dokter yang sudah berupaya bersungguh sungguh menolong pasiennya, namun karena  kelalaiannya menyebabkan pasien cedera ataupun meninggal dunia  ?.
Kita akan menggunakan Teori Keadilan Bermartabat dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional sebagai 'pisau analisis' untuk 'membedah' dan menjawab pertanyaan ini.
TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN
Sebagaimana kita ketahui, di dalam dokrin hukum pidana dikenal sebuah asas yang berbunyi : Geen Straf Zonder Schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan.
Asas ini menegaskan bahwa schuld ( kesalahan ) merupakan syarat agar orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat dipidana.
Dalam hukum pidana, ada 2 bentuk kesalahan ( schuld) yakni kesengajaan ( dolus ) dan kelalaian atau kealpaan ( culpa ). Kedua bentuk kesalahan hukum ini lazim disebut sebut sebagai mensrea atau guilty mind dari  perbuatan pidana. Kita dapat menyebut mensrea ini semacam keadaan batin atau jiwa yang salah saat seseorang melakukan suatu perbuatan kriminal.
Lalu, kapan seseorang dikatakan sengaja melakukan perbuatan pidana ?.
Prof.Satochid Kartanegara meringkaskannya dalam 2 potong kata, yakni -- dalam bahasa Belanda - wellen en witten.
Orang itu memang benar benar berniat atau berkeinginan/berkehendak ( wellen ) melakukan perbuatan itu, dan dia juga tahu ( wetten ) akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut. Misalnya, seseorang yang menuangkan racun sianida ke dalam gelas minuman orang lain dengan niat membunuh orang tersebut.
Berbeda dengan kelalaian. Disini , sama sekali tidak niat, keinginan,maksud atau maksud untuk mencederai atau membunuh orang lain. Dalam 'bahasa' Van Hammel, seorang pakar hukum Belanda, lalai itu diartikan tidak berhati hati dalam melakukan suatu perbuatan  serta tidak mampu menduga duga akibat yang muncul dari perbuatannya tersebut.
Contohnya, orang yang sedang mengenderai mobil di jalanan yang sepi, tiba tiba seorang anak kecil melintas menyeberangi jalan tersebut. Si sopir tidak dapat menghentikan kenderaannya dan menabrak si anak sampai meninggal dunia.
Lantas, apa perlunya kita mengetahui unsur kesengajaan (Â dolus ) dan unsur kelalaian/kealpaan ( culpa ) di dalam suatu perbuatan pidana ini ?. Â
Jawabnya , diantaranya adalah bahwa kedua unsur mensrea ini akan menentukan besarnya sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Misalnya, di dalam KUHP warisan Belanda - disebut juga KUHP-WvS (Wetboek van Strafrecht ) - yang digunakan sekarang ini, siapapun yang sengaja membunuh orang lain akan dijatuhkan sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun (pasal 338). Sementara, kalau akibat kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, ia diancam sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun (pasal 359) dan 3 tahun jika menyebabkan luka berat.
Pasal 359 inilah yang umumnya dikenakan kepada pelaku pelanggaran kecelakaan lalu lintas di jalan raya dan juga kepada dr.Ayu dkk dalam kasus kematian ibu Siska. Mereka diganjar hukuman 10 bulan penjara.
Pasal Kelalaian atau Kealpaan dengan sanksi pidana penjara ini juga kita temukan di dalam Undang Undang Kesehatan (Omnibus law) nomor 17 tahun 2023 yang tampaknya di 'copy paste' dari pasal 359 dan 360 KUHP -WvS.
Pasal 440 UU Kesehatan no.17/2023 berbunyi : ' Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kealpaan yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun ( ayat 1 ) ......
Jika kealpaan tersebut mengakibatkan kematian dipidana penjara paling lama 5 tahun (ayat 2)....
Padahal, KUHP Nasional yang baru akan diberlakukan pada tahun 2026, berbeda secara diametral dengan KUHP-WvS dalam soal kelalaian atau kealpaan tindak pidana dan pemidanaan.
Namun, sebelum melihat KUHP Nasional ini, kita akan mengupas dulu seperti apa pandangan Teori Keadilan Bermartabat dalam memandang soal pemidanaan ini.
TEORI KEADILAN BERMARTABAT
Teori Keadilan Bermartabat adalah sebuah teori yang digagas oleh Prof.Dr.Teguh Prasetyo,S.H, MSi, seorang akademisi, praktisi hukum dan penulis lebih dari 50 buku hukum.
Teori ini sebetulnya muncul sebagai respon terhadap kelemahan sistem hukum yang cenderung formalistik dan seringkali kurang mempertimbangkan aspek kemanusiaan serta nilai nilai lokal.Â
Inti  ajaran Teori Keadilan Bermartabat adalah bahwa hukum harus mengutamakan sisi sisi kemanusiaan dan keadilan yang substantif, bukan hanya sekadar formalitas hukum.
Secara singkat, ciri ciri khusus pemikiran teoritis dan filsafati dari Teori Keadilan Bermartabat adalah upaya mendekati 'fikiran Tuhan' dengan proses penalaran, berfikir radikal, penggunaan akal budi, karsa dan rasa serta meletakkan kaedah kaedah dan asas asas yuridis dari suatu sistem hukum melampaui hukum positip.
Lalu, bagaimana pandangan Teori Keadilan Bermartabat soal pemidanaan ?.
' Pemidaan berdasarkan Keadilan Bermartabat ', demikian tulis Prof.Teguh di dalam bukunya 'Penologi Berbasis Keadilan Bermartabat' halaman 66, ' harus menempatkan pelaku perbuatan pidana bukan hanya sebagai pelaku perbuatan pidana melainkan juga sebagai manusia atau human offender ' Â Â
'Atas pemahaman tersebut', lanjut Prof.Teguh, 'pemidanaan berdasarkan Keadilan Bermartabat harus merupakan pemidanaan yang mendidik serta memanusiakan pelaku perbuatan pidana. Pemidanaan berdasarkan Keadilan Bermartabat akan mempertimbangkan bagaimana pelaku perbuatan niat murni dan bukan karena keadaan.
Pelaku perbuatan pidana menurut teori determinasi menyatakan orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan. Oleh karena itu si pelaku perbuatan pidana tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsiliasi pelaku.
Kembali kepada unsur kelalaian atau kealpaan.
Kelalaian dapat diartikan sebagai tidak memiliki maksud atau keinginan. Pelaku tidak memiliki kehendak bebas  karena perbuatannya dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Sebagai contoh, seorang dokter mata saat sedang melakukan operasi katarak, tiba tiba muncul risiko medis yang tidak dapat diperkirakannya , dimana tekanan darah atau tekanan bola pasien meningkat secara drastis sehingga menyebabkan komplikasi dan penglihatan pasien setelah operasi menjadi  lebih buruk. Risiko medis ini berada diluar kendali diri si dokter mata.
Maka, menurut hemat saya unsur kelalaian  dalam perbuatan pidana  medik itu lebih dekat kepada teori determinasi. Sehingga, dalam konteks ini - mengacu kepada Teori Keadilan Bermartabat -- si dokter tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.
Berdasarkan kajian filosofis dan teoritis ( yang terlalu panjang untuk dipaparkan disini ), menurut pendapat saya kita harus membedakan jenis sanksi pidana dalam perkara medis bedasarkan delik dengan bentuk kesalahan tertentu.
Konkritnya, Â sanksi pidana semisal hukuman mati, penjara dan kurungan yang dijatuhkan pada tindak pidana umum diperuntukkan buat delik delik yang dilakukan dengan sengaja ( dolus ), sedangkan sanksi tindakan diperuntukkan untuk delik delik di dalam bidang medis yang dilakukan karena kelalaian atau kealpaan (culpa).
Adapun tujuan dari sanksi tindakan ini ialah tidak bersifat pembalasan ataupun menderitakan namun lebih kepada upaya mendidik seperti ditulis oleh Utrecht ( Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II,1986, hal.360 )
KHUP NASIONAL
Bagaimana pandangan KHUP Nasional  terhadap tindak pidana dengan unsur kelalaian/kealpaan dan pemidanaan ?.
Sebenarnya, gagasan untuk mengeluarkan kelalaian/kealpaan dari hukum pidana sudah disuarakan banyak pakar hukum pidana.
Jeremo Hall, misalnya menginginkan agar kealpaan sebaiknya dikeluarkan saja dari hukum pidana. Sementara Busch meragukan tentang patut dipidananya kealpaan. Beliau mempersoalkan apakah culpa masih seharusnya ada di dalam hukum pidana modern, dimana mengenai kehendak adalah merupakan hal yang fundamental bagi pengertian perbuatan pidana ( Ajaran Kesalahan Dalam Hukum Pidana,Dr.Aditya Wiguna,SH,MH,hal.152 )
'Di dalam politik hukum pidana Indonesia ', demikian tutur Dr. Aditya, Â 'secara implisit pemikiran demikian telah diterima, hal ini tampak dalam pasal 36 ayat 2 KUHP nasional yang berbunyi : 'Perbuatan yang dapat dipidana merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan di dalam peraturan perundang undangan'
Dari rumusan a quo, Â setidaknya terdapat 2 catatan penting.
Pertama, pada prinsipnya pidana hanya ditujukan pada delik delik dolus, sementara untuk delik culpa merupakan perkecualian saja.
Kedua, adanya frasa 'dapat' yang ditujukan pada delik delik culpa menunjukkan bahwa pidana bukanlah suatu hal yang imperatif untuk dikenakan pada delik delik culpa'
Seandainyapun sanksi pidanapun terpaksa digunakan untuk delik culpa, maka hendaknya dipilih bentuk sanksi pidana yang tidak bersifat merampas kemerdekaan (Â non-custodial ). Menuru hemat saya, jenis sanksi seperti ini - seperti disampaikan oleh Prof.Teguh - dapat berupa pidana kerja sosial atau pidana denda kategorial.
Hal ini diperkuat pula dengan pasal 70 ayat (1) huruf o KUHP Nasional yang menyebutkan bahwa tindak pidana yang terjadi karena kealpaan menjadi alasan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara yang merampas kebebasan pelaku.
KESIMPULAN
Bertolak dari uraian di atas, maka berdasarkan Teori Keadilan Bermartabat dan juga didukung oleh KUHP Nasional, seorang dokter yang terbukti melakukan kelalaian/kealpaan dalam memberikan pelayanan kesehatan atau tindakan medis yang kemudian menyebabkan pasien cedera ataupun meninggal dunia, tidak semestinya dijatuhkan sanksi pidana penjara.
Seyogyanya buat mereka cukup diberikan sanksi tindakan) yang bersifat mendidik dan 'memanusiakannya', yang bukan untuk membelenggu kebebasannya dan menjatuhkan martabatnya.
Salam sehat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H