'Di dalam politik hukum pidana Indonesia ', demikian tutur Dr. Aditya, Â 'secara implisit pemikiran demikian telah diterima, hal ini tampak dalam pasal 36 ayat 2 KUHP nasional yang berbunyi : 'Perbuatan yang dapat dipidana merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan di dalam peraturan perundang undangan'
Dari rumusan a quo, Â setidaknya terdapat 2 catatan penting.
Pertama, pada prinsipnya pidana hanya ditujukan pada delik delik dolus, sementara untuk delik culpa merupakan perkecualian saja.
Kedua, adanya frasa 'dapat' yang ditujukan pada delik delik culpa menunjukkan bahwa pidana bukanlah suatu hal yang imperatif untuk dikenakan pada delik delik culpa'
Seandainyapun sanksi pidanapun terpaksa digunakan untuk delik culpa, maka hendaknya dipilih bentuk sanksi pidana yang tidak bersifat merampas kemerdekaan (Â non-custodial ). Menuru hemat saya, jenis sanksi seperti ini - seperti disampaikan oleh Prof.Teguh - dapat berupa pidana kerja sosial atau pidana denda kategorial.
Hal ini diperkuat pula dengan pasal 70 ayat (1) huruf o KUHP Nasional yang menyebutkan bahwa tindak pidana yang terjadi karena kealpaan menjadi alasan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara yang merampas kebebasan pelaku.
KESIMPULAN
Bertolak dari uraian di atas, maka berdasarkan Teori Keadilan Bermartabat dan juga didukung oleh KUHP Nasional, seorang dokter yang terbukti melakukan kelalaian/kealpaan dalam memberikan pelayanan kesehatan atau tindakan medis yang kemudian menyebabkan pasien cedera ataupun meninggal dunia, tidak semestinya dijatuhkan sanksi pidana penjara.
Seyogyanya buat mereka cukup diberikan sanksi tindakan) yang bersifat mendidik dan 'memanusiakannya', yang bukan untuk membelenggu kebebasannya dan menjatuhkan martabatnya.
Salam sehat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H