by dr.Riki Tsan,SpM (mhs STHM MHKes V)
Dalam mata kuliah Hukum Bisnis Kesehatan di STHM MHKes angkatan V pada akhir April 2024, dengan dosen pengampu Bapak Jerry Tambun SH,LLM, diperbincangkan topik yang amat menarik, yakni soal perlindungan hukum terhadap Tenaga Medis (dokter dan dokter gigi) dan Tenaga Kesehatan.
Salah satu isu yang membuat 'euforia' di kalangan para Tenaga Medis  ialah terkait dengan terbitnya Undang Undang Kesehatan (Omnibus Law)  nomor 17 tahun 2023 ( UU Kesehatan Omnibus ), yang disebut sebut  menghembuskan 'angin segar' dalam soal perlindungan hukum  buat Tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan di Indonesia
Disebutkan bahwa dengan terbitnya UU Kesehatan Omnibus ini, maka dokter/dokter gigi tidak lagi bisa 'digiring' begitu saja ke pengadilan perdata maupun pidana, jika tidak mendapatkan rekomendasi dari Majelis Disiplin Pofesi yang akan dibentuk oleh Menteri Kesehatan.
Sebagian besar mahasiswa -- khususnya Tenaga Medis -- berpandangan seperti itu dan tentu saja mendukung 'khabar baik' ini. Namun, saya berseberangan dengan pandangan tersebut.
Saya mencermati tidak ada perubahan yang signifikan terkait dengan isu ini.
Menurut saya, tidak ada hal hal 'baru' terkait isu perlindungan hukum.
Kita akan 'mengulik' soal ini pada bagian berikutnya.
Tetapi sebelum sampai kesana, kita akan mendengarkan dulu potongan narasi dari Dr.M.Arif Setiawan,SH,MHÂ yang disampaikan pada sebuah Seminar Internasional di Jakarta.
---
Di dalam Seminar Internasional Hukum Kesehatan/Medis yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) pada tanggal 21 April 2024, Dr. M. Arif Setiawan, SH,MH, Â Ketua Jurusan di FH UII Yogyakarta pada bagian bagian akhir presentasinya mengatakan :
' Di dalam bidang pengelolaan Kesehatan ini, ternyata belum ditemukan itu karena status MKDI tidak bisa menjadi screening system sebelum perkara itu akan maju ke perdata atau masuk ke pidana. Dengan demikian hal itu merupakan satu langkah yang harus diperjuangkan terus menerus '