Beberapa hari setelah menjalani operasi katarak, seorang pasien yang berusia 50an tahun 'curhat' kepada dokternya.
'Dok, aku ini orang  yang sangat sibuk', katanya. 'Hari hariku dipenuhi dengan urusan pekerjaan dan jarang tinggal lama di rumah. Jujur saja dok, penyakit katarak dan operasi ini sungguh merupakan musibah yang amat menyakitkan buat diriku. Aku terpaksa beristirahat di rumah dan tidak bisa melakukan pekerjaanku'.
'Namun, alhamdulillah.......sejak istirahat beberapa hari di rumah, sanak saudaraku pada datang mengunjungiku serta memberikan semangat dan do'a do'a agar penglihatanku segera pulih kembali. Seakan akan tali silaturahmi diantara kami yang telah putus bertahun-tahun itu tersambung kembali.
'Kini aku juga memiliki banyak waktu untuk membaca kitab suci, dapat melakukan ibadah lebih banyak dan merenungkan perjalanan hidup yang telah kulalui'. Aku merasa semakin dekat dengan Tuhan, dok'.
'Namun, kebahagiaan yang paling aku rasakan ialah kebersamaan dan kehangatan cinta dari istri dan anak anakku yang selama ini kuabaikan.Â
'Sungguh, aku bersyukur kepada Allah atas semua berkah dan karuniaNya ini, dok, katanya.
--------
KH DR Jalaluddin Rakhmat di dalam bukunya 'Tafsir Kebahagiaan' menyebutkan bahwa musibah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari di dalam kehidupan kita.
Menurut saya, 'musibah' bisa berbentuk tekanan psikis ( stress ) akibat tuntutan pekerjaan yang berlebihan, penyakit yang tak kunjung sembuh, bercerai dari suami/istri, kematian orang orang yang kita cintai, kehilangan jabatan, pekerjaan dan kedudukan dan lain lain.
Namun, kita bisa 'memilih' apakah musibah itu akan membawa derita atau bahagia, tergantung bagaimana sikap kita menerima musibah itu ( hal.56).
Tidak semua orang akan terpuruk dan menderita oleh musibah yang menderanya.
Boleh jadi, kehidupannya justru akan menjadi lebih baik, karena jiwa dan pola fikirnya mengarahkannya pada pilihan tersebut (hal.63).