Mohon tunggu...
Riki Marudin
Riki Marudin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

di pojok kelas, di lembar halaman berikutnya. di pinggir garis, 2x45 menit.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Salam Perkenalan: Cerita Kuno Sepakbola Modern Jakarta

6 Januari 2012   16:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Siang itu terlihat seorang anak kecil duduk di pojok bangku batu rumah tetangganya sambil membawa bola plastik yang catnya sudah mulai luntur. Nampaknya dia sedang menunggu dengan wajah polos temannya. Kemudian, seorang remaja laki-laki yang sekarang duduk di bangku perkuliah menghampirinya.

“Mau main bola, Le?” tanyanya.

“Iya mas”, jawab anak tersebut singkat. “Main di jalanan komplek sana, Mas”, lanjutnya sambil menunjuk jauh ke arah komplek bank yang tak jauh dari perkampungan tempat tinggalnya.

“Kok mainnya disana? Kan disana banyak motor sama mobil lewat?” pemuda itu melanjutkan pertanyaan.

Anak tersebut langsung berbalik bertanya kepada intelektual muda tersebut dengan ketus, “Yah, emangnya dimana lagi ada lapangan, Mas?”.

Mendengar pernyataan dari seorang bocah tetangganya tersebut, pemuda itu terdiam. Akhirnya, teman-teman kecilnya yang telah ditunggu sejak tadi datang. “Main dulu ya, Mas”, sambil menggiring bola yang dibawanya tadi. “Iya, Le. Hati-hati”, balas pemuda itu.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Kisah ini memang klise dan sudah jamak terdengar. Apalagi di perkotaan seperti di Jakarta, tidak tersedianya lapangan. Bahkan mencari lapangan yang tidak lebih besar dari lapangan voli pun sudah jarang ditemui. Padahal hanya untuk bermain sepakbola yang bolanya saja ‘cuma’ sekitar lima ribuan rupiah. Disana-sini yang terlihat hanya gedung perkantoran, mall dan apartemen yang peruntukannya hanya untuk masyarakat ekonomi atas Jakarta, juga komplek perumahan mewah yang dengan angkuh mengkotak-kotakan diri dari luar, dari perkampungan kumuh di sebelahnya.

Mereka yang lebih beruntung dapat dengan mudah mencari lapangan atau bermain bola. Dengan uang, mereka dapat menyewa sebuah lapangan futsal dengan harga puluhan sampai ratusan ribu per jamnya, yang belakangan menjamur di hampir seluruh penjuru negara ini. Atau bahkan, mereka dapat menyewa sebuah lapangan sepakbola konvensional.

Tapi, apakah mereka memikirkan saudara, teman dan adik mereka yang memiliki hak yang sama, hak untuk bermain, hak untuk bergembira dengan sebuah bola murahan yang mereka beli di warung kelontong tersebut? Saya tidak tahu, dan tidak mau tahu juga.

Yang mereka butuh hanya sebuah lapangan sekitar sepuluh kali lima meter, dengan tumpukan batu atau sandal-sandal sebagai penanda gawangnya. Mereka tidak butuh tiang gawang, mereka tidak butuh alas kaki dan mereka juga tidak butuh seragam tim. Mereka hanya ingin berlari, menendang serta bergembira bersama teman-teman dengan ini, dengan sepakbola.

Mungkin dari lapangan (jalanan komplek) dan di atas telapak kaki yang tidak beralas tersebut justru tersembunyi talenta yang melebihi Lionel Messi atau pun bintang muda Brazil, Neymar. Atau mungkin talenta itu telah masuk ke dalam jurang yang tidak berdasar? Atau nantinya mereka cuma menjadi seorang penonton, dan cuma jadi seorang tukang kritik seperti penulis amatiran ini (saya maksudnya). Semoga saja tidak.

Maaf kalau terlalu biasa, mohon bimbingannya :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun