Untuk ke luar negeri, kita butuh paspor. Untuk membuat paspor, kita harus datang ke Kantor Imigrasi setempat dan berurusan dengan petugas imigrasi—meskipun sudah membayar jasa calo pun tetap harus ‘setor muka’ secara langsung.
Cerita konyol berikut ini terjadi sewaktu saya membuat paspor di Pontianak. Pada saat sesi wawancara untuk pengecekan biodata, saya sedang menunggu antrian dan tepat di depan saya adalah seorang TKI yang sedang ‘dikerjai’ oleh oknum petugas. Pertanyaannya sungguh tidak masuk akal, “Burung Garuda itu, kepalanya hadap kiri atau hadap kanan?” TKI tersebut langsung kebingungan, wajahnya stres. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan biodatanya. Karena TKI tersebut tidak bisa jawab, oknum petugas tersebut tampak sedikit emosi dan dengan nada ancaman, samar-samar terdengar, ia mengatakan kalau tidak akan memasukan data diri TKI tersebutke dalam komputer (otomatis tidak lulus syarat administrasi), kemudian terdengar lagi ia mengatakan kalau TKI tersebut akan bekerja ke luar negeri, dia seharusnya tahu tentang lambang negara, atau apapun yang berhubungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Busyet deh! TKI tersebut hanya tertunduk lesu mendengar omelan sang petugas. Bagi saya yang melihatnya, rasanya tidak enak juga melihat TKI tersebut dijadikan objek hiburan—wong kami sama-sama sedang mengajukan aplikasi paspor—apa bedanya coba? Terakhir, terdengar lagi oknum petugas itu berkata, “Ya sudah, tunggu dulu di situ.” TKI tersebut dengan malas menyeret tubuhnya kekursi tunggu, menunggu lagi, menunggu yang tidak pasti dan tidak tahu apakah berkasnya diproses atau dilemparkan.
“Selanjutnya!” Eh, selanjutnya adalah giliran saya. Beneran lho, saya juga sempat berpikiran yang aneh-aneh. Mungkinkah oknum petugas itu akan menanyakan pertanyaan yang sama, “Burung Garuda itu, kepalanya hadap kiri atau hadap kanan?” Kalau bisa jawab, barulah berkasnya akan diproses. Kalau tidak, ya silahkan menunggu lagi bersama TKI itu. Saya sempat mencari tahu dimana pastinya kepala Burung Garuda itu menghadap dansaya temukan sebuah gambar yang ternyata Burung Garuda, lambang negara kita itu menghadap ke kiri (dari arah kita melihatnya). saya benar-benar berhalusinasi betapa angkernya petugas imigrasi ini.
Pada saat maju, saya sudah berusaha tetap tenang dan hati yang mantap karena 100 persen saya bukanlah TKI. Sang petugas kini jauh lebih sopan, entah kenapa. Ia hanya tanya soal latar belakang pendidikan dan ia malah bercerita tentang pengalaman sekolahnya di Akademi Imigrasi. Selama cerita berlangsung, saya mengeluarkan senyum palsu yang paling manis sampai proses identifikasi berkas selesai. Alhamdulillah ya, paspor pakai calo ini selesainya hampir dua minggu kemudian, beda dengan janji si calo, katanya selesai 2 hari--prettt!
Beberapa bulan kemudian, saya terbang ke Singapore lewat Bandara Soekarno Hatta. Sesuai dengan ketentuan, setiap penerbangan internasional harus melewati pintu imigrasi dan kali ini saya menjumpai petugas imigrasi yang berwajah angker dan bersenjatakan palu stempel. Buk! Buk!
“Next!” Giliran saya.
Saya menyerahkan paspor dan tiket pesawat saya di dekat stempelnya. Saya menghindari melihat wajahnya. Sorot matanya yang tajam menatap dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, membuat saya salah tingkah. Saya berpura-pura saja melihat ke arah lain.
Tiba-tiba dia menyahut, “Enak ya, hari gini bisa jalan-jalan ke luar negeri.” Terkejut, saya tidak tahu apa maksudnya dia ngomong seperti itu. “Kalau kami, pasti sudah dicabut tuh izin ke luar negerinya.” Saya diam saja—mungkin dia sedang curhat, pikir saya. Dengan jurus yang sama, saya mengeluarkan senyum palsu yang paling manis sambil menunggu paspor saya dicap olehnya secara sadis.. Buk! Buk! Bunyi stempelnya saja semakin menggelegar.
Paspor sudah beres, sepertinya tidak ada masalah. “Tengkyu!” Kata saya lirih. Saya pun bergegas menuju teman-teman saya yang sedari tadi menunggu.
“Next!”
“Ngomong apa sih dia?” Tanya mereka. Saya pun menceritakan ‘curhat-nya’ si petugas imigrasi itu. “Ah, sudahlah. Enggak usah didengarkan. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Ayo!” Kata Maruone Sir. Kami pun segera pergi menuju terminal keberangkatan dan melupakan petugas tadi yang tong kosong nyaring bunyinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H