Hallo, ya ini kali pertama ku membuat tulisan. Moga enak dibaca ya. Ini adalah kesaksian hidup dari keluarga saya yang dulu kekeh dengan pendirian tradisional. Yaps ada suatu ketika yang benar-benar mengubah pola pikir dan sudut pandang dari orang tua saya terhadap sesuatu.
Saya lahir di keluarga tionghua Kalimantan Barat dengan berbeda kebudayaan. Papa saya khek dan mama saya tiocu, dimana orang khek mempunyai pendirian yang kokoh, gigih, dan sangat percaya kepada leluhur. Saya anak ke-2 dari 4 bersaudara. Semuanya laki-laki dan akan menjadi penerus marga "Cung".
2009, tahun yang membuat kami sekeluarga terpukul. Adik saya yang nomor tiga meninggalkan kami semua karna sakit DBD diumur dia yang masih 12 tahun (kelas 6 SD), lah kenapa bisa? Gak dibawa ke rumah sakit? Penanganannya lambat?
No..no..no.. Sehari adik saya sakit langsung dibawa ibu ke rumah sakit yang dekat dengan rumah kami. Rawat inap di RS tersebut kurang lebih 5 hari, melihat tidak ada perubahan dan terlihat semakin parah, papa saya berinisiatif pindah RS dari hari ke 4.
Namun dokter masih merasa sanggup untuk menanganinya, dihari ke-5 papa kekeh untuk pindah RS, tengah malam menggunakan ambulance akhirnya adik saya di pindahkan ke RS ternama di kota kami. Sesampainya di RS tersebut, dokter disana langsung merujuk ke ruang ICU dan ketika itu dokter cuma katakan "kita bantu dalam doa". Sontak kaget dan bertanya apa yang terjadi.
Papa seakan tidak percaya, dia menyuruh rekannya untuk bertanya ke "orang pintar". Masih Tradisional banget? Yaps, papa masih percaya dengan hal yang begituan waktu itu. Gak bisa di pungkiri juga, karna nenek sendiri adalah seorang dukun beranak kampung. Lantas dia masih menyimpan kepercayaan kesana. Orang pintar itu hanya mengatakan "jika hari ini lewat maka akan selamat".
Hari ke 6 berlalu tapi keadaan tak kunjung membaik, kembali lah teman papa menanyakan ke "orang pintar" itu. Ungkapan dari orang pintar itu sama dengan yang kemarin. Namun tidak sama dengan hari kemarin, adik ku pun meninggalkan kami semua di hari ke-7 dia sakit.
Sedih? Terpukul? Duka? Jangan ditanya lagi, orang yg sudah 12 tahun bersama kami pergi mendahului kami semua. Terlebih saya paling dekat dengan dia, umur kami hanya beda dua tahun. Mama sering memperlakukan kami selayaknya kembar, ya emang postur gak beda jauh dan ulang tahun kami pun hanya beda tiga hari. Papa, mama, koko dan saya gak boleh berlutut sembayang di depan jenazah beliau, ya karna dia lebih kecil dari kami. Sesuai adat kami tidak boleh sembayang didepan yang . Adik paling kecil masih berumur 3 tahun toh belom tau apa-apa ya kan.
Akhirnya yang terlihat guru dari sekolahnya lah yang berdoa di sekeliling jenazahnya, loh kok bisa? Kami semua bersekolah yang benanung di yasasan berbasis katolik. Jadi ya berdoa berdasarkan agama katolik. Ya kami biasa aja sih melihat orang katolik berdoa, toh tiap hari juga berdoa berdasarkan katolik kok disekolah.
Malam pertama adik saya meninggal kami tidur bareng dikamar utama. Papa nyeletuk saat semua hening, kayaknya kita masuk katolik aja ya, kami semua terkaget. Orang yang paling tradisional pemikirannya dan rajin banget sembayang di klenteng dan dirumah ngomong seperti itu. Alasan satu-satunya dari papa ya supaya bisa mendoakan si dedek. Hari pun berlalu, pemakan dedek juga masih menggunakan tradisi tionghua.
Setelah semua selesai kami memulai hidup yang baru, kami sekeluarga belajar pendalaman agama katolik (katekumen). Awal kami masih belum bisa menerima sepenuhnya atas kepergian dedek, namun lambat laun kami tersadar bahwa ada malaikat kecil yang diutus kedunia buat selamatin kami sekeluarga. Terima kasih malaikat kecil, damai di Surga ya, jaga kami yang masih berkelana di dunia.