Mohon tunggu...
Riki Hifni
Riki Hifni Mohon Tunggu... Freelancer - Seseorang yang mengagumi kata-kata

Lahir di Pasuruan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilihan Kepala Daerah: Perayaan Penuh Gegap Gempita yang Sarat Akan Ironi

26 November 2024   22:51 Diperbarui: 26 November 2024   23:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan Kepala Daerah selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu, bukan hanya karena fungsinya sebagai sarana memilih pemimpin daerah, tetapi juga karena suasananya yang penuh warna dan semarak. Dari spanduk besar yang memenuhi pinggir jalan hingga hiburan gratis dan "amplop rahasia," Pilkada telah menciptakan kebiasaan yang unik. Tradisi ini tidak hanya menambah kemeriahan, tetapi juga menyajikan berbagai ironi yang kerap menjadi perbincangan di tengah masyarakat.

Baliho: Langkah Pertama yang Sarat Makna

Baliho sering menjadi penanda awal dimulainya Pilkada. Sebelum visi dan misi resmi disampaikan, wajah para kandidat sudah lebih dulu terpampang di baliho besar yang menghiasi sudut-sudut jalan. Dengan slogan-slogan mencolok seperti "Bersama Menuju Perubahan" atau singkatan nama yang kreatif, baliho berusaha menarik perhatian. Namun, apakah pesan tersebut benar-benar menyentuh masyarakat? Itu pertanyaan lain.

Sayangnya, kehadiran baliho lebih sering menimbulkan masalah daripada manfaat. Dari sisi estetika, pemasangannya kerap merusak lingkungan, seperti memaku pohon atau merusak taman kota. Bahkan, di sejumlah wilayah, pemasangan baliho memicu perseteruan antar pendukung kandidat yang berlomba-lomba mendapatkan lokasi strategis. Ironisnya, desain baliho sering kali lebih menonjolkan foto kandidat dengan senyum lebar dibandingkan isi pesan yang ingin disampaikan.

Selain itu, baliho juga menghadirkan risiko keselamatan. Saat hujan lebat disertai angin kencang, baliho berukuran besar kerap tumbang, membahayakan pengguna jalan. Di kota-kota besar, sebenarnya sudah ada alternatif seperti baliho digital dengan layar LED yang lebih ramah lingkungan dan tidak mengganggu tatanan kota. Namun, penggunaan baliho konvensional tetap menjadi pilihan utama, bukan karena lebih efektif, melainkan karena faktor kebiasaan dan biaya yang lebih rendah.

Konser Gratis: Hiburan di Tengah Dinamika Politik

Siapa yang tidak tertarik dengan konser tanpa biaya? Ketika Pilkada tiba, panggung-panggung megah mendadak muncul di alun-alun kota, menampilkan artis lokal hingga bintang nasional untuk menghibur masyarakat. Musik dangdut menjadi sajian utama, dengan irama khas yang membuat semua kalangan ikut bergoyang, mulai dari ibu-ibu pengajian hingga para remaja.

Namun, di balik kemeriahan konser, terdapat sejumlah dinamika yang kurang menyenangkan. Pertama, acara ini kerap dijadikan sarana kampanye. Di tengah-tengah penampilan, pembawa acara sering menyisipkan ajakan seperti, "Jangan lupa, pilih nomor sekian, ya!" Sementara itu, para kandidat hadir dengan senyum lebar, melambaikan tangan kepada penonton. Ironisnya, perhatian warga lebih tertuju pada lagu berikutnya daripada pidato mereka.

Masalah Tidak Berhenti di Situ. Keriuhan konser gratis sering kali berujung pada kericuhan akibat ulah provokator dari pihak lawan politik. Insiden seperti saling lempar botol plastik atau nyanyian sindiran terhadap kandidat tertentu menjadi hal yang lumrah. Selain itu, konser juga berubah menjadi ajang saweran, di mana para penonton berebut uang yang dilemparkan tim kampanye ke udara.

Keramaian semacam ini juga kerap menjadi ladang bagi kejahatan, seperti pencurian dan pelecehan. Copet yang bergerak di tengah kerumunan hingga insiden tidak pantas di sekitar panggung menjadi ancaman nyata. Alih-alih mendekatkan kandidat dengan masyarakat, konser semacam ini justru berisiko memicu konflik baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun