Mohon tunggu...
riki fatayati
riki fatayati Mohon Tunggu... -

mahasiswa psikologi UIN MALIKI MALANG

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenapa Malu ???

8 Desember 2014   02:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:50 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ibu besok kiki nggak mau pakai celana ini lagi yaa..”kata kiki tiba-tiba sepulang dia dri sekolah, dia tampak gelisah.

“kenapa? Celana itu kan baru umi belikan” Tanya ibunya. “habis kata teman-teman, celana kiki nggak boleh dipake soalnya menyentuh tanah” ibu pun melirik celana pramuka kiki yang masih di kenakan. Ibu tersenyum, seraya bergumam didalam hatinya. “celana kiki terlalu panjang, ibu lupa memendekkan celananya”

“memangnya kenapa kalo menyentuh tanah nak?” ibu bertanya kembali kepada kiki. “kata ustdz yusuf, isbal atau memanjangkan celana bagi laki-laki sampai melebihi mata kaki dengan sengaja, adalah lambing kesombongan dan dilarang oleh agama islam” jelas kiki.

Ibu tersenyum mendengarkan penjelasan kiki, dan bangga kepada anaknya yang cerdas. Kiki memang masih berumur 8 tahun, tapi dia sudah dapat mencerna dengan baik pelajaran yang telah ustadz sampaikan kepadanya, dan dapat menerapkannya pada dirinya.

Ibu memeluk kiki seraya berkata “kiki benar sekali, insyaAllah sore ini ibu akan pendekkan celana kiki. Maafkan ibu, kemarin ibu belum sempat memendekkan celana kiki”. “iya bu, terimakasih” balas kiki dengan wajah yang berseri-seri. Kemudian kiki mengganti seragamnya dan bersiap untuk makan siang.

Disaat kiki, ayah, dan ibu bersiap untuk makan siang. Fitri datang dari sekolah dengan wajah muram. Tanpa mengucap salam, fitri duduk dan turut bergabung di meja makan bersama kakak dan kedua orang tuanya. Ternyata fitri lebih parah lagi, jilbabnya ditarik dan dilempar ke lantai.

“fitri kenapa??” Tanya ayah dengan tenang sambil mengusap kening fitri. Yang baru pulang dari rumah tetangga. “fitri sebel yah” jawab fitri sambil manyun.

“iya sebel..tapi sebelnyakenapa??” tanya ayah lagi. Kiki dan ibu saling bertatap mata. “Mulai hari ini fitri mau pake jilbab kalo sekola aja, alo main kerumah zizah fitri ngakmau pake jilbab” jawab fitri dengan nanda marah.

Ibu terkejut mendengar jawaban dari putri kecilnya yang baru sekolah TK B itu. Memang ibu selalu mengajari fitri berpakaian muslimah setiap keluar dari rumah, sejak kecil dengan harapan mengajari sejak dini akan membuatnya menjadi terbiasa. Selama ini fitri tidak menolak, bahkan erkadang ibu memberi kelonggaran untuk dia tidak berjilbab ketika pergi ke warung sebelah rumah. Karena firti masih kecil, tetepi ia menolak engan alasan malu. Dan yang menjadi pertanyaan ibu, mengapa kal ini a protes? “ soalnya itu yah, teman-teman mengolok-olok fitri. Merekamemanggilku ‘ibu nyai’ karena fitri pake jilbab terus”. Kata fitri dengan air mata yang tertahan seakan siap untuk membasahi pipi merahnya.

Ayah tersenyum mendengar pengakuan putri kecilnya “ya bagus dong, fitri dipanggil bu nyai. Bu nyai itu kan orang hebat, ilmu agama bagus, punya pesantren yang bisa dipakai untuk belajar agama. Allah sayang dengan orang yg eperti itu fit”

“fitri harusnya bersyukur, karena di doakan menjadi ‘bu nyai’.”. sela ibu, karena ayah kesusahan menahan tawanya. “begitu ya bu??” tanya fitri tak mencari penegasan.

“iya dek, kata ustadz kakak, kalau orang yang ilmu agamanya bagusdan mau mengajarkan pada orang lain, itu bisa menjadi amal perbuatan yang tidak bisa putus meski orang tersebut udah meninggal”. Sahut kiki, ayah dan ibu saling bertatapan mata dan bertukar senyum. Fitri tersenyum dan mengusap air mata yang membasahi pipi merahnya.

“aku mau bu, jadi bu nyai” ujar fitri yang dari tadi menahan tawa, akhirnya melepaskan tawanya. “hahahaha..”

Kemudian mereka melanjutkan makan siang mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun