Mohon tunggu...
Riki Setiawan
Riki Setiawan Mohon Tunggu... Penerjemah - Ganteng

Seorang mahasiswa laki-laki tapi feminis dan hobi mengabdikan diri untuk membela masyarakat kelas rentan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mahasiswa Undip Peduli Masyarakat Privilese Rendah

19 Agustus 2021   22:48 Diperbarui: 19 Agustus 2021   23:02 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemalang (07/08/2021) -- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, privilese memiliki arti hak istimewa. Privilese merupakan hak istimewa yang jarang banyak orang miliki seperti kekayaan, bentuk fisik idaman, lingkungan memadai hingga fasilitas yang dimiliki. Privilese sering menjadi perdebatan masyarakat baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya dikarenakan, privilese ini dianggap tidaklah adil karena tidak semua orang dapat menikmati hidup dengan kemudahan tertentu tanpa harus bersusah payah mencarinya

Lalu, bagaimana dengan keberlangsungan hidup masyarakat yang tidak memiliki hak istimewa untuk hidup ini? 

Mari kita lihat potret kehidupan masyarakat di Desa Gembyang, Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Seorang mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Diponegoro bernama Riki Setiawan (20) menilik kehidupan dan problematika yang dialami oleh masyarakat desa Gembyang. Menurut data yang diperoleh dari kelurahan Gembyang yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Pemalang tahun 2021, tercatat tingkat pendidikan masyarakat di kategori usia 19 tahun ke atas hanya berjumlah 79 orang saja yang masih menempuh pendidikan tinggi dari total jumlah populasi yaitu sebesar 4062 jiwa. Pada usia ini pendidikan yang ditempuh sudah memasuki derajat perguruan tinggi dan dengan jumlah demikian masih sangat jauh dari kata ideal untuk masyarakat pendidikan yang sejahtera.

Masih rendahnya jumlah pemuda usia produktif untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi adalah dikarenakan kurang terjangkaunya mereka untuk mendapatkan informasi mengenai urgensi pendidikan tinggi. Untuk ketersediaan wadah informasi ini menurut data yang didapat, desa Gembyang memiliki 0 tempat seperti perpustakaan dan konsultan pendidikan tinggi. Hal ini dapat dikatakan bahwa mereka tidak memiliki privilese dalam hal penjangkauan informasi, bahkan sebenarnya ini adalah hak dasar dari setiap warga negara untuk mendapatkan fasilitas umum seperti perpustakaan. 

Walaupun sekarang sudah di era zaman internet yang dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai hal apapun itu, namun kembali lagi kepada banyaknya kekurangan privilese di berbagai faktor yang mereka miliki. Banyak dari masyarakat usia produktif seperti di usia 19 tahun ke atas yang setelah lulus sekolah menengah atas, enggan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang mengurangi kesadaran akan urgensi pendidikan tinggi. 

Terdapat sekitar 360 orang di usia 19 tahun ke atas yang memilih untuk melanjutkan karir untuk bekerja dibandingkan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan hal itu juga dipengaruhi oleh lingkungan yang membuatnya memiliki pola pikir bahwa membantu meningkatkan ekonomi keluarga adalah hal yang diprioritaskan. 

Sejatinya memang tidak ada salahnya turut membantu meningkatkan taraf ekonomi keluarga, namun sisi buruknya mari kita lihat kembali bahwa memiliki keluarga yang cukup secara ekonomi dan kemampuan secara finansial untuk melanjutkan pendidikan tinggi adalah sebuah privilese yang begitu berharga bagi masyarakat sosial kelas bawah. Ditambah dengan pola pikir lingkungan yang telah disebutkan tadi, membuat mereka menjadi terbawa arus pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa melanjutkan pendidikan tinggi itu tidak penting.

Dengan diadakannya program Pawon Mimpi, yaitu sebuah tempat konsultasi pendidikan tinggi dimana semua orang terutama pemuda pemudi usia produktif dapat mencari informasi mengenai kependidikan tinggi di sini. Program Pawon Mimpi diinisiasikan oleh mahasiswa Sastra Inggris bernama Riki Setiawan (20) yang sekaligus sebagai pendiri dari Taman Baca Masyarakat Lintang Pustaka yang sebelumnya belum pernah ada. 

Program ini dilaksanakan bersamaan dengan program lainnya di Taman Baca Lintang Pustaka seperti kakak bimbing belajar untuk anak-anak taraf Sekolah Dasar dan penyediaan informasi secara tertulis melalui koleksi buku yang dimilikinya. Tidak hanya memberikan informasi terkait perguruan tinggi, namun program Pawon Mimpi ini juga menyediakan informasi mengenai beasiswa yang tersedia untuk mereka yang tidak mampu secara finansial namun memiliki tekad untuk melanjutkan pendidikan.

Awal mula terbentuknya wadah konsultasi pendidikan tinggi Pawon Mimpi adalah dikarenakan empati yang muncul dalam benak mahasiswa yang gemar mengikuti isu gender dan feminisme ini terhadap kurangnya hak dasar dan privilese masyarakat desa Gembyang dan dikemas sebagai bentuk program kegiatan KKN TIM II UNDIP dan pelaksanaannya bekerja sama dengan Taman Baca Lintang Pustaka. Dengan begitu, diharapkan dengan adanya wadah informasi yang telah dibentuk ini dapat memenuhi hak masyarakat dan menambah privilese masyarakat desa Gembyang sekaligus menyentil pihak pemerintah setempat untuk lebih berempati kepada masyarakat underprivileged agar dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik untuk Indonesia.

Penulis: Riki Setiawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun