Mohon tunggu...
Rikho Afriyandi
Rikho Afriyandi Mohon Tunggu... Guru - Kaum Rebahan

Menulis apa yang ingin ditulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sami'na wa Atha'na

6 Mei 2020   19:09 Diperbarui: 6 Mei 2020   19:04 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami dengar (ya Allah), dan kami taati. Inilah makna dari kalimat sami'na wa atha'na. Makna yang harus dipahami oleh kita sebagai seorang hamba. Jangan sampai kita hanya sami'na saja namun tidak atha'na. Apalagi dengan tidak sami'na sama sekali.

Iblis misalnya, ia mendengar (sami'na) ketika Allah perintahkan untuk sujud kepada nabi Adam (Q.S. Al-Baqarah:34), namun, iblis tidak mentaatinya (atha'na). Iblis berdalih bahwa penciptaannya dari api lebih mulia ketimbang Adam yang diciptakan dari tanah (Q.S. Shaad:75-76). Sehingga, karena ketidaktaatannya itu, membuat iblis keluar dari Surga, dan menjadi makhluk yang terkutuk (Q.S. Shaad:77-78).

Cukuplah Iblis yang seperti itu, dan menjadi bahan pembelajaran bagi kita. Kita sebagai seorang muslim, sami'na wa atha'na adalah kewajiban kita yang harus dilaksanakan. Se-tinggi apa pun jabatan, pangkat kita, se-luas, dan se-dalam apa pun ilmu yang kita miliki, ketika kita berhadapan dengan arahan dari Allah (Alquran), maka tugas kita sepatutnya adalah sami'na wa atha'na (kami mendengar ya Allah, dan kami taati).

Terang saja, tugas kita ketika berhadapan dengan apa pun yang ditegaskan Allah melalui Alquran adalah sami'na wa atha'na. Tidak perlu kita menggunakan kekuatan akal kita untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu. Apalagi enggan untuk melaksanakannya.

Misalnya, ketika Allah turunkan perintah untuk kita agar berpuasa (Al-Baqarah:183), maka, sekali lagi, tugas kita sami'na wa atha'na. Tidak perlu kita mencari dalil-dalil ilmiah tentang apakah puasa bermanfaat bagi tubuh kita? Apakah puasa akan berdampak kepada ekonomi kita? Atau bagaimana baiknya kesehatan tubuh, antara yang berpuasa dengan yang tidak? Sekali lagi, tidak perlu. Entah puasa itu menurut kajian ilmiah ada manfaat atau tidak, tugas kita sami'na wa atha'na terhadap perintah Allah.

Begitu juga ketika Allah memberikan larangan kepada kita. Misalnya, Allah melarang kita untuk memakan makanan yang haram. Tidak perlu kita mencari penjelasan ilmiah tentang apakah di dalam 'sesuatu' yang Allah haramkan itu ada "makhluk" yang menjijikkan, sehingga ia menjadi haram? Atau, apakah di dalamnya ada 'sesuatu yang mematikan? Dan lain sebagainya. Sekali lagi, gak usah dipikirkan, tugas kita adalah sami'na wa atha'na.

Akhirnya, semua itu sudah dalam "konsep" Allah yang sangat luar biasa, dan tidak bisa diketahui oleh makhluknya secara pasti, kecuali hanya sebatas asumsi saja. Namun, yang jelas semua itu pasti ada maslahat (kebaikannya). Dengan itu semua, Allah menghendaki kita semua untuk mentaati apa yang telah ditentukan-Nya dalam kitab-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun