Suara adzan subuh membangunkannya . Husni teringat dengan masa kecil yangrajin bangun pagi untuk pergi ke mushola. Di sanalah Husni bertemu dengan kawan kawan. Terkadang Husni sendiri yang harus membuka pintu mushola untuk adzan subuh. Menyusuplah dalam benaknya,sebuah semangat untuk memulai hari baru.
Pedih karena harus bangun pagi dan menahan kantuk. Namun kepedihan yang sejenak itu mengantarnya terbebas dari sakit malas. Seperti jarum suntik di tangan dokter, sekejap membawa kepedihan, sejenak kemudian mengantar pada kesembuhan.
Dia berbicara dengan dirinya sendiri. Inspirasi kerap muncul di pagi hari,pikirnya. Mungkin karena di pagi hari inilah manusia bisa tenang berefleksi. Menelusuri relung relung diri. Menghakimi dirinya sendiri. Memaknai setiap keeping peristiwa yang dialami.
Sebagian orang memang belum selesai dengan dirinya sendiri. Belum mampu mendamaikan setan yang ada di dalam diri. Setan itu seperti seraut wajah di jendela yang menyentuh daun pintu hati.Terus menggoda dengan menyuarakan keluh,kutuk dan caci maki.
Suasana pagi seperti inilah yang membuat Husni dahaga akan kesenyapan. Hiruk pikuk bayangan manusia bertopeng yang setiap hari dijumpainya seperti lenyap tersapu embun. Serupa kaca yang basah dan lembab,tertutup oleh pandangan mata.
Topeng topeng yang dilihat Husni setiap hari sudah kusam bentuknya. Terkelupas dan robek, sehingga wajah manusia bertopeng itu lambat laun mulai nampak bentuk aslinya.
Kadang Husni tersenyum sendiri manakala mendapati si pemilik topeng itu tak menyadari bentuk diri yang sudah tidak terlihat murni. Berjalan melenggang, percaya diri bahwa manusia di sekitarnya tak akan mampu menembus wajah di balik topeng itu.
Angan Husni kembali terlempar ke masa lalu. Dinginnya udara pagi masih terasa dalam angani. Deru kereta api melintas di rel yang membelah persawahan. Gemuruhnya menembus kesenyapan perkampungan.
Itulah titik waktu ketika ia hanya bisa melihat bahwa wajah manusia itu hanya satu. Saat itu ia belum mampu menyingkap yang tersirat. Mendaulat yang tak terlihat. Atau menggugat sebuah muslihat.
Husni sudah paham bahwa dunia memang panggung sandiwara. Seperti lagu yang dilantunkan penyanyi kesukaannya Ahcmad Albar. Namun para pemeran sandiwara selalu menggunakan wajah aslinya, tanpa topeng. Seperti wajah asli Pak RT yang selalu menyeringai ketika sakit pinggang. Seolah wajah jujurnya ingin berkata,”Sakit nya tuh di sini”.
Detak jam dinding mengembalikan lamunannya ke masa kini. Mulia sekali jam dinding itu. Tetap bergerak,berdetak menyongsong titian masa. Jam dinding itu adalah wujud keikhlasan sejati. Dia akan terus berdetak meskipun tak ada seorang pun yang mempedulikannya. Dia akan terus berpacu menunjukkan waktu dari detik ke detik. Meskipun manusia hanya akan sekali sekali menengoknya dalam beberapa kejap, pendulumnya akan terus berputar tanpa Pamrih. Suara ketukan yang dikeluarkan jam dinding itu seolah mentertawakan manusia. Terutama manusia yang bergerak mengharap imbalan ucapan terima kasih.
Husni berusaha untuk membuka buntalan buntalan sampah yang berkumpul dari benak batinnya. Sampah sampah itu dibuangnya perlahan lahan. Kesadarannya timbul bahwa mendambakan semua manusia berwajah satu hanyalah harapan sia sia di kehidupan. Dia berniat memulai pagi ini dengan tekad bahwa sangat indah menikmati wajah wajah manusia bertopeng itu. Koran pagi itu disantapnya, sebuah sajian pertama untuk menikmati manusia dengan beragam topeng.
Rikho Kusworo Ungaran, 07 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H