Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tertembak Peluru Kata-kata

3 Oktober 2012   06:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:19 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349265688661767356

[caption id="attachment_202397" align="aligncenter" width="448" caption="Kliping Pribadi"][/caption]

Tidaklah berlebihan apabila Sayyid Qutb mengatakan bahwa satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) bisa menembus ribuan, bahkan jutaan kepala.

Itulah yang saya rasakan ketika membaca artikel seorang Career Coach di Kompas 11 Juni 2011. Reading Brings Knowledge – Writing Brings Wisdom, begitulah judul artikel yang ditulis oleh Rene Suhardono.

Dalam artikel itu Rene Suhardono memaparkan cara unik berkomunikasi melalui tulisan dengan putrinya, Priyanka. Mereka punya kebiasaan saling meninggalkan surat, setiap kali Rene hendak berpergian keluar kota.

Rene selalu membawa surat Priyanka di dalam dompet untuk dibaca ulang ketika kangen.Sementara itu,Priyanka biasanya mempertunjukkan surat Rene kepada guru-guru,teman-teman, dan ibunya. Dengan surat menyurat itulah Rene menanamkan kasyikan membaca dan menulis sedari kecil kepada anaknya.

Artikel koran tersebut masih saya simpan hingga kini, sebagai penyemangat diri untuk membaca dan menulis. Sejak membaca artikel itu, rasanya seperti Tertembak Peluru Kata Kata. Timbul suatu keinginan menulis yang kuat. Pikir saya, alangkah baiknya seandainya kegemaran membaca kemudian diikuti kegandrungan menulis.

Sejak 1 Oktober 2011 saya bergabung di Kompasiana, sebagai wahana menuangkan ide,pengalaman, catatan, dan humor segar. Karena kesibukan, pada awalnya saya hanya menargetkan tayang tulisan minimal seminggu sekali.

Seiring berjalannya waktu, saya bertemu dengan penulis penulis kaliber di Kompasiana. Para penulis itu aktif menayangkan tulisan di Kompasiana. Seolah terseret derasnya alur pemikiran para penulis itu, benak saya menggumam, “rasanya kok terlalu underdog kalau hanya menulis seminggu sekali”.

Namun demikian, faktanya sampai dengan Desember 2011, target empat tulisan per bulan pun tak sanggup saya penuhi. Banyak kendala yang tertanam dalam otak saya pada saat itu. Hambatan-hambatan itu, belakangan saya sadari hanya mitos belaka.

1. Tema apa yang akan saya tulis? Darimana idenya ?

2. Apakah tulisan saya akan dibaca, di tengah membanjirnya para penulis kaliber?

3. Apakah tulisan saya menarik dibaca ?

4. Menulis di sela sela rutinitas pekerjaan dan quality time dengan keluarga, Kapan waktunya ?

5. Apakah manfaat yang bisa saya petik dengan menulis ?

Semua pertanyaan pertanyaan itu sebenarnya hanya bertitik pangkal pada satu kata “ Malas”. Dalam ilmu kriminologi, suatu kejahatan itu timbul karena niat dan kesempatan. Dalam perspektif yang positif kegiatan menulis, berlaku pula hal yang sama.

Dengan niat kuat, kesempatan menulis bisa didapat.

Dalam proses menjadi blogger pemula ( saat ini pun saya masih pemula), Adel putri saya masih berumur satu tahun. Ketika itu tingkat kesibukan pengasuhan anak relatif tinggi. Mulai dari membuat susu,menyiapkan air panas dan peralatan mandi, mencuci botol susu, serta pernak pernik lain khas perawatan bayi.

Setelah pulang dari tempat kerja, di sela-sela anak tertidur, saya mulai menulis. Konsentrasi pun kerap buyar karena di selingi dengan serba serbi mengurus tetek bengek keperluan anak.

Pada awalnya sempat terjadi pertentangan dengan istri. Lebih disebabkan sikap saya yang tidak mau diganggu ketika menulis. Pikir saya,” Kapan selesainya kalau pada saat menulis istri minta bantuan cuci botol susu. Selesai cuci botol susu, niat hati ingin kembali menulis, namun urung, karena anak buang air besar.

Proses pun berlanjut. Sampai pada suatu titik saya pernah memilih untuk menulis di rumah daripada menemani anak istri refreshing ke luar rumah pada hari Minggu. Beruntunglah saya disadarkan sahabat kompasioner MbakTyas, dalam komentarnya atas tulisan saya.

“ Saya berkompasiana ketika dunia nyata sudah tidak membutuhkan saya” tulis Mbak Tyas .

Saya terhentak dengan komentar itu. Sungguh bermakna dalam menghunjam dalam seperti lembing menembus tanah gembur. Sedikit demi sedikit, saya pun berusaha memprioritaskan “dunia nyata”,  anak dan istri.

Tulisan ini hanya sekedar refleksi, setelah setahun bergabung di Kompasiana. Saya hanya mampu menulis tujuh puluh sembilan tulisan. Hanya empat tulisan yang diakui sebagai tulisan Headline.

Indonesian Idol dan Pendidikan Karakter

Kompasiana Bak Mesin Juke Box

Penting, Jangan Sepelekan Karcis Parkir!

Bule Cerewet di Ruang Praktik Dokter

Sementara itu hanya satu tulisan yang terekam masuk ke kategori Terekomendasi, yang sekarang istilahnya berubah menjadi Trending Article.

Multitasking Sebuah Mitos, Benarkah?

Setelah menulis dua puluh tiga artikel, barulah saya mendapatkan pengakuan dari admin dengan meng-HL-kan tulisan saya. Inilah HL pertama yang membuat saya meloncat dari kursi. Kegirangan itu diiringi muka cemberut istri karena saya tidak mendengarkan permintaannya untuk meminumkan obat panas kepada anak . Indonesian Idol dan Pendidikan Karakter

Saya merasa kata bloggerbelum layak ditahbiskan untuk saya. Penulis blog yang belum mampu mengejar ide dengan pentungan . Seperti yang pernah dikatakan Jack London“ You can not wait for inspiration. You have to go after it with a club

Sebagai pemecut niat,setidaknya ada beberapa motivasi yang mendorong saya terus menulis :

1. Legacy (Warisan)

Jejak tulisan tidak akan terhapus , kecuali bumi ini tersapu kiamat. Ingin rasanya meninggalkan rangkaian kisah, cerita, suasana perasaan, dan peristiwa kepada anak saya. Seperti yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Keinginan untuk meninggalkan warisan abadi kepada penerus mendorong diri pribadi untuk menebarkan kisah dan cerita yang bermanfaat, inspiratif, sekaligus menghibur. Harapan,idealisme,pengalaman,kerisauan, momen khusus, nilai-nilai moral akan tertular kepada anak saya. Harapannya anak saya mampu mengambil hal hal positif. Pada tataran yang lebih jauh kelak keturunan yang akan datang bisa melacak jejak leluhurnya.

2. Kotemplasi

Menulis adalah proses kotemplasi. Aliran kata-kata yang mengalir, terlahir melalui pergulatan pemikiran,perasaan serta melewati proses pengayaan dan sintesa. Jejak perenungan ini akan terekam sehingga penulis mampu memvisualkanya seperti maket pemikiran pada masa yang lampau.

Maket pemikiran itu dapat dipanggil kembali sehingga proses pendewasaan yang terevolusi dari waktu ke waktu, mampu tersaji kembali dalam konteks masa kini. Membaca kembali artikel yang saya tulis setahun yang lalu serasa berselancar di alam rasa. Saya bisa menggambarkan dengan utuh perasaan dan pemikiran yang saya rasakan ketika itu.

3. Menguatkan Struktur Pemikiran.

Setelah menulis, saya merasakan bahwa setahun terakhir ada peningkatan dalam cara berpikir dan cara menganalisa masalah. Yang ditulis Rene Suhardono dalam artikel di atas benar benar terbukti. Clear writing is the sign of clear thinking. Dalam pekerjaan yang saya geluti, menulis membuat saya mampu memetakan ,menganalisa, membuat langkah strategis,  mempresentasikan, dan membuat langkah antisipasi terhadap masalah.

Setelah saya selami hal ini dipengaruhi oleh pergulatan pemikiran ketika proses menulis. Pergulatan rasa dan pemikiran yang terjadi pada saat menulis menuntut seseorang memperjelas struktur dan alur logika. Ketika berbicara, seseorang boleh berucap dengan tema yang melompat lompat. Hal itu tidak akan terjadi dalam dunia penulisan. Kata yang membentuk kalimat. Kalimat pembentuk paragraf yang akhirnya melahirkan alenia sungguh seperi rangkaian gerbong yang tidak boleh terputus. Gerbong itu dikendalikan oleh lokomotif logika dan rasa.

Saya bersyukur bertemu dengan sahabat sahabat yang hebat, ramah, dan menyenangkan di Kompasiana. Pun banyak pula tokoh tokoh kaliber yang sudah kampiun di bidangnya. Semuanya tampak membumi dalam menularkan esensi dan misi.

Terima Kasih untuk Kompasiner sahabat saya di bawah ini yang hampir selalu mengunjungi setiap tulisan tulisan saya.

www.kompasiana.com/mama_abby

www.kompasiana.com/Ariyani_12

www.kompasiana.com/dyahrina

www.kompasiana.com/Melati.kompasiana.com

www.kompasiana.com/hennietriana

(Pembaca Pertama Blogku)

http://www.kompasiana.com/ardhybayu

Untuk rekan kompasinoner yang membaca tulisan ini saya menyampaikan salam persahabatan.

Ditulis Rikho Kusworo 3 Oktober 2012 jam 20.30

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun