Teman kantor, sebutlah Irene ,menuliskan kalimat”JANGAN MENGELUH”di atas kertas putih . Irene menempelkannya di dinding kantor persis di atas monitor komputer. Ruangan saya hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari meja kerja Irene. Saya menduga Irene membuat tempelan tulisan itu sebagai penyemangat di tengah hiruk pikuk untuk segera menyelesaikan pekerjaan.
Setiap hari, lebih dari lima kali saya harus mengambil air minum dari dispenser yang terletak di samping meja kerja Irene. Pun setiap kali ketika saya menyodorkan gelas dan menuangkan air minum dari keran dispenser, saya harus menatap tempelan kalimat”JANGAN MENGELUH” itu.
Ketika menghampiri dispenser itu dalam keseharian rutinitas kerja, tentu saja suasana hati saya pasang surut Terkadang saya merasa dalam tekanan deadline. Kali lain mungkin saya dalam kondisi seperti terjebak dalam pusaran angin puting beliung untuk keluar dari sebuah masalah pekerjaan. Tempelan tulisan itu seperti manusia hidup yang menuding muka sambil berkata lantang ”JANGAN MENGELUH”.
Di akhir minggu dalam suasana hati yang sedang longgar dan tenang, saya bertanya kepada Irene mengapa kita tidak boleh mengeluh. Selanjutnya saya bertanya apakah ada manusia yang tidak mengeluh. Saya mengatakan kepada Irene bahwa mengeluh itu sifat bawaan manusia. Jadi kalau sesekali mengeluh maka sebenarnya saya sedang memproklamasikan bahwa saya ini manusia tulen. Namun demikian orang yang sering mengeluh adalah orang “sakit” .
Mendengar komentar saya, Irene malah bertanya tulisan apa yang seharusnya dia tempelkan di dinding untuk menggantikan kaimat ”JANGAN MENGELUH” Sejenak dahi ini mengerenyit menjawab pertanyaan yang muncul karena komentar saya sendiri. Saya menjawab singkat,”Akan lebih baik kalau tidak mengeluh”.
Hari Senin di minggu berikutnya saya sedikit kaget manakala tempelan tulisan di dinding itu sudah berganti menjadi”AKAN LEBIH BAIK KALAU TIDAK MENGELUH. Sambil mengambil air minum dari dispenser saya tersenyum menyapa Irene yang sedang serius menatap layar monitor yang setiap hari dipelototinya minimal sepuluh jam.
Setiap hari minimal lima kali saya harus mengambil air minum dan membaca tulisan itu. Terkadang karena ingin segera minum, saya sendiri yang harus mengangkat dan mengganti,kalau air dalam galon kosong, Tulisan itu seperti altar yang selalu saya ziarahi dalam setiap situasi. Berziarah untuk sekedar mengingatkan jangan menjadi orang “sakit”, karena sering mengeluh.
Suatu ketika dalam kondisi yang terburu buru saya mendapati air dalam galon kosong. Sambil tersenyum saya menggumam,” Ya Allah giliran terburu buru air nya kok ya pas habis”. Spontan Irene bereaksi,” Pak Rikho lihat tulisan itu Pak, katanya akan lebih baik kalau tidak mengeluh”. Saya jawab,”Berarti maumu aku tidak boleh mengeluh dan segera mengganti galonnya?”. Rini tersenyum puas manakala tempelan tulisan itu menjadi bumerang bagi saya.
Beberapa hari kemudian saya kembali mendapati air galon itu kosong. Saya berkata di depan Rini,” Alhamdulilah air galon kosong dan aku harus berolah raga”. Derai tawa Rini meledak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H