Musik bisa jadi adalah prasasti penanda jaman. Namun apakah selera musik seseorang akan berubah mengikuti jaman? Tiba tiba tergelitik untuk mengupas sebenarnya seseorang mencintai musik, karena musiknya sendiri atau karena era yang melingkupinya. Musik sebagai kenikmatan inderawi, layaknya mesin waktu, mampu meluncurkan seseorang dari satu titik masa menuju satu titik jaman di masa lalu. Saya sendiri meyakini bahwa musik yang terbaik adalah irama yang mengiringi masa remaja. Bagi yang mengalami masa remaja di era 80-90, pastilah pernah menjadi saksi mewabahnya hingar bingar musik hardrock. Ciri utama musik hardrock adalah distorsi gitar yang dipadukan dengan suara cabikan bas dan hentakan drum yang kental. Tidak tahu mengapa, selera musik saya tidak pernah berubah sejak dua puluh tahun yang lalu. Puluhan kaset hardrock mengiringi keriangan masa remaja. Ketika itu, konser musik serasa kurang lengkap kalau belum ada grup band membawakan lagu You Give Love A Bad Name-nya Bon Jovi.
[caption id="attachment_202897" align="aligncenter" width="400" caption="Bon Jovi (Sumber Last.fm)"][/caption] Kemudian diikuti dengan suara menyihir intro keybord lagu The Final Countdown-nya Europe. [caption id="attachment_202899" align="aligncenter" width="470" caption="Europe (Sumber:tumblr.com)"]
[caption id="attachment_202904" align="aligncenter" width="300" caption="GNR (Sumber:shumy27.wordpress.com)"]
[caption id="attachment_202905" align="aligncenter" width="450" caption="Steelheart(eryirawan.blogspot.com)"]
Mungkin para penggemar blues di Indonesia cukup terhibur dengan penampilan Gugun's Blues Shelter. Grup blues kondang di Indonesia ini mampu menghadirkan musik blues dengan dengan karakter aslinya. Namun demikian cukup sulit bagi saya untuk membayangkan musik-musik hardrock ini akan menemukan reinkarnasi-nya pada masa kini. Musik musik cadas yang bergaung sekarang cenderung sederhana. Warna vokal yang datar dengan chord serta melodi gitar yang tidak rumit. Mungkin itu pertanda bahwa anak anak sekarang cenderung menyukai hal yang lebih sederhana dan tidak njlimet. Kecenderungan untuk bergeser ke boyband asal Korea merupakan fenomena tersendiri. Alih alih menggandrungi musik musik barat seperti Eropa dan Amerika, keberhasilan musik Korea menembus kawula Indonesia memang suatu kondisi yang terus terang saja gagal saya pahami. Pada 26 Juni 2010 kebetulan saya menyaksikan konser grup hardrock Firehouse di sebuah hotel di Semarang. Pengunjung konser tidak terlalu berjubel, kebanyakan para pecinta musik yang mengalami masa remajanya di era 90-an. Saya berdiri di dekat anak muda berusia sekitar dua puluhan. Saya lihat dia sangat menikmati konser itu. Hentakan kaki dan acungan tangan serta applause-nya menyertai pada hampir setiap lagu yang dibawakan. Saya pura pura tidak tahu dan bertanya pada anak muda ini," Wah yang ini judul lagunya apa mas ?" " He..he..saya tidak tahu mas, yang penting musiknya enak didengar " jawabnya tersipu malu. Bagi saya seseorang mencintai musik karena musik itu sendiri. Sama sekali tidak terpengaruh oleh arus jaman. Jaman boleh berubah, tetapi selera musik tetaplah sama. Seperti halnya saya yang sampai sekarang belum bisa menikmati musik Jazz. Melihat kecenderungan musik anak muda masa kini, tipis rasanya kemungkinan musik Hardrock untuk reinkarnasi. Namun setidaknya jenis musik ini akan dikenang oleh remaja yang hidup sejaman dengan masa keemasannya Ditulis Rikho Kusworo selesai Minggu 07 Oktober 2012 jam 5 pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H