Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pontang Panting Bersedekah

25 April 2014   07:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13983604451009102896

[caption id="attachment_304497" align="aligncenter" width="300" caption="klikunic1.blogspot.com"][/caption]

Merenung di tempat parkir sepeda motor kampus, benak Reyhan menerawang menelusuri titian masa. Empat tahun sudah Reyhan berjuang kuliah S1 sambil bekerja di sebuah perusahaan manufaktur. Otak kirinya dipenuhi ganjalan tanggung jawab pekerjaan yang menyita waktu serta hutang untuk membayar uang kuliah.

Ketika matahari sepenggalah hari itu, Reyhan berusaha menemui dosen pembimbing skripsinya. Seharusnya skripsi itu sudah tuntas enam bulan yang lalu. Namun kesibukan pekerjaan dan keletihan seolah seperti rayap yang menggerogoti kokohnya pilar niat untuk menyelesaikan kuliah.

Mata Reyhan tak henti hentinya menatap ruang kelas tempat Bu Tri dosen pembimbingnya mengajar. Seperempat jam lagi seharusnya kuliah di kelas itu selesai, pikirnya. Selanjutnya Reyhan bisa segera mencegat Bu Tri untuk meminta waktu bimbingan skripsi. Bu Tri sudah telanjur melabeli Reyhan sebagai mahasiswa yang tidak punya niat dan ketekunan untuk menyelesaikan skripsi. Pernah Bu Tri melontarkan ancaman halus.

“Kalau sudah tidak niat bimbingan dengan saya, pergi ke TU minta dosen pembimbing lain. Pastinya kamu harus bayar lagi” tegas Bu Tri pada Reyhan saat konsultasi skripsi terakhir.

Pikiran Reyhan melayang, seperti mendaulat kelengangan langit. Pada saat itulah pandangan matanya tertumbuk pada seorang ibu bersama anak perempuan seusia anak SD. Ibu dan anak ini berjalan menelusuri tempat parkir, memulung barang barang dari tempat sampah.

Mata Reyhan seolah memagut erat pada anak ingusan yang mengaduk aduk sampah dimasukkan ke dalam karung plastik putih. Reyhan membatin,sementara anak yang lain berlari riang di halaman sekolah sambil menenteng jajanan, putri pemulung itu dipaksa pecahkan kerasnya cadas kehidupan, mengais-ngais sisa sisa barang buangan.

Perlahan lahan Reyhan meraih dompet di saku kanan belakang. Tergerak hatinya untuk memberi uang kepada anak itu, mungkin sekedar untuk membeli sepiring nasi dan segelas teh. Dibukalah dompetnya untuk memberikan uang. Di dompet itu ada tiga lembar uang kertas. Rp.1.000, Rp.50.000, Rp.100.000. Kebutuhan hidup menuntutnya untuk berhemat. Memberikan uang Rp.50.000 dan Rp.100.000 terlalu banyak. Kalau Rp.1.000 terlalu sedikit. Reyhan ingin memberi Rp.10.000. Reyhan menengok ke kanan ke kiri, dimana kemungkinan dirinya menukar uang. Niat menukarkan uang dibuyarkan oleh riuhnya mahasiswa yang keluar dari kelas Bu Tri.

“ Dari kelasnya Bu Tri ya Mas?” Tanya Reyhan kepada salah satu mahasiswa.

“ Benar Mas” jawab mahasiswa itu.

“ Bu Tri nya kemana Mas” tanya Reyhan lagi.

“ Naik ke lantai atas Mas” jawab mahasiswa itu.

Reyhan bergegas berlari kecil menaiki tangga, menyibak kerumunan mahasiswa. Baru beberapa tangga dipijaknya, pandangan matanya terantuk pada selembar uang Rp.10.000 yang terinjak sepatu hitam bututnya. Uang Rp.10.000 tepat berada di sudut tepi tembok anak tangga terakhir lantai 2.

“ Ya Allah, aku kesulitan mencari uang Rp. 10.000. Nampaknya kau tunjukkan wujudnya di sini” pikir Reyhan.

Sejenak dibatalkanlah niat menemui dosen. Reyhan segera memungut Rp.10.000 itu dan berlari menuruni tangga. Mata Reyhan menjelajahi kampus mencari ibu pemulung dan putrinya.

“ Alhamdulilah” kata Reyhan mengucap syukur manakala melihat ibu pemulung dan putrinya beranjak keluar dari pintu gerbang kampus.

Reyhan segera berlari sejauh separo lapangan sepak bola, mengejar ibu pemulung dan putrinya.

“ Ini bu untuk beli makan siang putrimu hari ini” kata Reyhan sambil menyodorkan uang Rp.10.000.

Matur nuwun sanget mas (terima kasih banyak). Gusti Allah ingkang maringi piwales (hanya Tuhan yang membalas)” kata ibu pemulung sambil mengusap dahinya yang penuh peluh.

Dengan nafas sedikit terengah engah Reyhan segera balik lagi mencari Bu Tri di ruang kuliah lantai dua. Pertemuan dengan Bu Tri hari itu memberikan titik balik jalan menuju rampungnya skripsi.Beberapa konsultasi yang dilakukannya dengan Bu Tri, dalam rentang waktu satu bulan ke depan akhirnya menghantarkannya meraih toga wisuda.

Reyhan merasakan sejak memberikan selembar uang Rp.10.000 kepada pemulung dan putrinya, Allah telah melapangkan jalannya menuntaskan skripsi. Bu Tri yang dahulunya kaku dan cenderung pelit waktu, menjadi lebih fleksibel serta murah memberikan kesempatan janji konsultasi. Nyaris dalam setiap kesulitan yang ditemui, Reyhan mendapatkan pertolongandari teman. Sepeti halnya ketika kesulitan mencari referensi buku dan jurnal penelitian.

Inilah mungkin hikmahnya. Telinga Reyhan peka oleh rintihan rasa lapar yang terdengar sayup-sayup meluncur dari mulut putri pemulung itu. Mungkin pada saat itu putri pemulung ingin menikmati sesuap nasi dan segelas teh manis. Namun mereka dilanda kesulitan, hasil mengorek korek tempat sampah belum terkumpul untuk dijual. Oleh karena itu hasrat menikmati sepiring nasi dan segelas teh harus ditunda dahulu.

Satu lembar uang Rp.10.000 dari Reyhan seolah olah seperti tali yang disodorkan untuk mengangkat ibu pemulung dan putrinya dari sengsaranya jurang rasa lapar serta dahaga.

Pada saat itulah mungkin Tuhan mendengar pekikan hati Reyhan yang begitu penat memikirkan cara agar skripsinya lekas selesai. Ketika Reyhan berada di tubir jurang keletihan jiwa dalam mengatasi kesulitan hidup, uluran tangan Tuhan datang menolong

Pada akhirnya Reyhan meyakini bahwa peduli akan kesulitan seorang manusia bagaikan menciptakan sebuah jalan setapak bagi dirinya sendiri untuk keluar dari peliknya persoalan hidup. Kepada insan yang peduli akan persoalan manusia lain inilah tangan Tuhan akan terulur membimbing, laksana pelita dalam kegelapan. Namun demikian masih tersisa sedikit kegundahan di hati Reyhan. Mengapa ada saja manusia di dunia ini yang sengaja mempersulit jalan manusia lain ?

Ditulis Rikho Kusworo selesai 25 April 2014 jam 00.15.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun