Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

(Parenting) Ingin Anak Saya Bahagia

24 November 2013   00:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:45 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_279913" align="aligncenter" width="300" caption="Seminar yang bertajuk Pola Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Bekerja tersebut diadakan oleh sekolah Kelompok Bermain Dan Taman Kanak Kanak Anak Cerdas PPPAUDNI Regional 2 Semarang Ungaran, Sabtu 23 November 2013 Dengan Pembicara Ibu Sri Kurnianingsih,SPsi,MM,Psi"][/caption]

Apa sebenarnya yang kita inginkan ketika anak anak tumbuh menjadi besar nanti. Andaikan pertanyaan ini ditujukan kepada sahabat, hampir pasti jawabannya beragam. Sebutlah hal hal normatif seperti ingin anak yang pintar,anak berbakti kepada orang tua,anak yang pintar main musik, anak yang pintar bergaul dan lain lain. Namun pernahkah terbersit sebuah pikiran bahwa sahabat akan menjawab dengan kalimat ini,”Saya ingin anak saya bahagia”.

Sungguh terhenyak saya ketika pembicara seminar yang diadakan oleh pihak sekolah menegaskan sebaris kalimat menyentuh. “Saya ingin anak saya bahagia”. Saya tercenung beberapa saat sambil mengendapkan sebuah pemikiran. Bukankah hal hal normatif di atas menjadi sia sia ketika anak kita tidak bahagia.

Seminar yang bertajuk Pola Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Bekerja tersebut diadakan oleh sekolah Kelompok Bermain Dan Taman Kanak Kanak Anak Cerdas PPPAUDNI Regional 2 Semarang Ungaran. Pihak sekolah mengundang orang tua murid untuk menyerap inspirasi dari seminar yang diadakan Sabtu 23 November dari jam 9-11 pagi. Pembicaranya adalah seorang psikolog yang juga merupakan praktisi PAUD Ibu. Sri Kurnianingsih,S.Psi.,MM.,Psi.

Bagaimana membuat anak bahagia? Bu Nia memberi pemaparan dengan menggali lebih dalam, seberapa jauh pola asuh yang telah dialami peserta seminar mempengaruhi cara mereka membesarkan anaknya.

Peserta seminar nampaknya termotivasi untuk terus menyimak materi yang disampaikan pembicara. Bu Nia, demikikan nama panggilan pembicara, mencoba mendorong partisipasi aktif dari peserta seminar. Pada awal sesi Bu Nia menampilkan gambar tokoh tokoh terkenal Jokowi,Akil Muchtar, Ayu Ting Ting, Soimah dengan tulisan tebal ”Orang Tua Seperti Apakah Yang Membesarkan Mereka?”

[caption id="attachment_279916" align="aligncenter" width="300" caption="Peserta Seminar yang hampir semuanya ibu ibu sedang menyimak pemaparan pembicara"]

1385227886544813292
1385227886544813292
[/caption]

Kemudian Bu Nia membagikan kertas dan meminta peserta seminar untuk menuliskan hal yang paling diingat terkait pola asuh yang diterapkan orang tua masing masing. Suasana hening kala peserta seminar menundukkan wajah untuk menulis di kertas. Pada saat itulah alunan lagu “Ayah” Ebiet G. Ade seolah mengantar peserta seminar menaiki mesin waktu,kembali ke masa silam. Sementara itu di layar proyektor nampak terpajang sebuah poto seorang laki laki sepuh berpeci hitam dengan untaian sarung kumal menyilang membelah separuh badan. Sosok ayah pekerja keras yang telah renta. Sungguh suatu keheningan yang penuh makna, memunculkan kenangan masa silam pengorbanan orang tua yang kukuh mengayun di dinding hati hingga kini.

Setelah peserta seminar selesai menulis di kertas, Bu Nia meminta beberapa orang tua untuk menceritakan apa yang baru saja ditulis. Masih dalam suasana terbawa oleh ingatan masa silam, ada seorang peserta seminar yang hampir tak kuasa menahan haru. Dengan suara bergetar menahan rasa ingin menangis, ibu ini mengisahkan heroisme ayahnya yang seorang tentara. Ibu ini teringat ketika ayahnya yang kala itu ditugaskan di pedalaman Papua pada era tahun 70-an. Ketika itu Papua masih rawan konflik. Ayahnya membuatkan sebuah lubang persembunyian di bawah tempat tidur, yang cukup menampung seluruh keluarga. Sebelum pergi bertugas, ayahnya selalu menegaskan agar lubang ini digunakan untuk bersembunyi manakala ada kerusuhan atau huru hara. Yang dikenang ibu ini bahwa ayahnya adalah pahlawan yang mengutamakan keselamatan keluarga.

Kisah ibu di pedalaman Papua ini membuat saya tercenung. Benak melayang teringat lirik lagu favorit saya berjudul “ Heaven” dari sebuah grup band hardrock “Warrant”. “I Don’t Need To Be The King Of The World, As Long As I’m Hero Of This Little Girl”. Jauh di lubuk hati, ibu ini mengisyaratkan bahwa ayahnya. seorang tentara biasa, namun beliau adalah pahlawan baginya di masa kecil.

Bukankah jamak kita temui di televisi, orang tua yang dalam karir profesinya didaulat menjadi “Raja (King)”, namun mungkin bukanlah pahlawan untuk anak anak anak mereka. Anak anak para Direktur Perusahaan,Petinggi Partai,Pengusaha Kaya,Taipan,dan Pejabat yang sedang menjalani proses hukum kasus korupsi , dalam pergaulan keseharian mungkin akan menyembunyikan jati diri orang tuanya.

Terkait dengan dengan sikap kepahlawanan orang tua untuk membahagiakan anak dengan cinta dan tanggung jawab, Bu Nia memutarkan film kisah singkat He Ah Lee, seorang anak perempuan Korea berkebutuhan khusus yang terkenal seantero dunia karena kepiawaiannya memainkan piano klasik.

Kepahlawanan ibunya lah yang sabar mengasuh anaknya yang lahir dengan jumlah jari terbatas dan menjadikan lututnya layaknya sebagai kaki. Bermain piano pada awalnya disarankan oleh ahli terapi agar tangan kakinya lincah berfungsi untuk menunjang kegiatan sehari hari. Ibu He Ah lee yang mantan perawat itu, sepeninggal suaminya, mendidik anaknya sendirian untuk hidup mandiri. Rasa percaya diri pun terus dipupuk dan ditanamkan, walaupun butuh waktu satu tahun untuk menguasai satu lagu.

Bu Nia mengatakan usia emas anak antara 0 – 8 tahun. Pada saat inilah daya serap anak berfungsi luar biasa. Usia emas ini adalah ladang subur untuk memupuk dan menanamkan nilai nilai moral yang akan menunjang sikap. Pada gilirannya nilai moral dan sikap inilah yang menopang kemampuannya dalam mengadaptasi ketrampilan dan pengetahuan. Muaranya anak anak akan berperilaku positif seiring dengan kecerdasan kognitif dan kecerdasan sosialnya.

Pemaparan Bu Nia mengingatkan saya ke sebuah ungkapan lama kaum Jesuit yang maknanya mirip“give us the child until he is seven and we will show you the man”. Artinya karakter manusia bisa terbentuk dalam usia tujuh tahun pertama kalau didikan dan asuhannya tepat.

Bu Nia menjelaskan bahwa pada usia emas ini anak harus dibekali dengan nilai kejujuran,kegigihan,berempati,cinta kasih. Yang tidak kalah penting adalah life skills. Dalam prosesnya proses pembekalan nilai moral ini akan melibatkan segitiga keluarga,sekolah,dan lingkungan masyarakat. Namun demikian keluarga tetap menjadi garda depan proses pengasuhan anak.

Ditulis Rikho Kusworo selesai 24 November 2013 jam 00.30.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun