Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Harus Memilih Antara Hobby dan Family

23 November 2012   19:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:46 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyeimbangkan hobby dan family bukanlah hal yang mudah dilakukan, apalagi di tengah work life balance yang terkadang tidak utuh. Namun keyakinan tetaplah harus terpatri, bahwa kebahagian akan kian dekat untuk direngkuh.

Setelah dinasehati ibu mertua agar tidak membalik hidup ( menulis di malam hari sampai menjelang shubuh), praktis saya berhenti menulis malam.Setelah pulang kerja biasanya sekitar jam 6.30 setelah mandi,makan,sholat, yang saya lakukan adalah mengasuh anak sampai tidur. Saya meniatkan tidur lebih awal dan bangun di pagi hari jam empat. Namun faktanya antara niat dan kenyataan tidak selamanya padu.

Memulai membiasakan diri menulis di pagi adalah tantangan yang luar biasa. Ya, salah satu hal yang berat dalam hidup adalah memulai. Berat dalam pengertian memulai untuk mengubah kebiasaan. Namun saya akui,pagi hari adalah waktu yang paling ideal untuk menulis. Kesegaran badan setelah tidur cukup adalah modal utama dalam mengalirkan ide Suasana sangat tenang karena anak istri belum bangun sehingga fokus perhatian tidak terbagi.

Namun demikian pada pagi hari musuh yang harus dilawan adalah setan rasa kantuk yang selalu menari nari menggoda saya untuk merebahkan diri. Kadang setan itu berhasil saya lawan, tetapi ada kalanya saya takluk. Di kesempatan yang lain, walaupun akhirnya tunduk dengan rasa kantuk, saya berhasil menuliskan seratus sampai dua ratus kata.

Pada saat berhasil melawan rasa kantuk dan terus menulis, pagi hari menggelinding begitu cepat. Suara motor pengantar koran menandai dimulainya hari untuk beraktifitas. Istri mulai bangun dan memasak untuk bekal makan siang saya. Itulah alarm alam yang mengharuskan saya berhenti menulis di pagi hari.

Dalam banyak kesempatan saya dihadapkan antara hobby dan family. Terkadang setelah pulang kerja sejatinya saya ingin membaca buku kesenangan. Namun rengekan anak mengajak bercengkramalah yang akhirnya melunturkan niat memburu kesenangan pribadi.

Dua tahun terakhir merupakan masa transisi bagi saya. Sebelum kehadiran buah hati saya dua tahun yang lalu, mutlak saya dapat melakukan kesenangan kesenangan pribadi secara leluasa. Membaca buku,novel, nonton VCD, bermain gitar, mendengarkan musik. Menulis adalah passion yang baru saya jalani sejak bergabung dengan Kompasiana setahun yang lalu (Oktober 2011).

Pagiini setelah beberapa minggu, saya sedikit melanggar nasehat mertua. Setelah menidurkan anak dari jam 9 malam hari Jumat, saya terbangun di tengah malamnya, mulai menulis. Pada bulan bulan awal sejak saya menulis di Kompasiana, egoisme mendominasi proses penyeimbangan antara hobby dan family. Pernah suatu saat saya menolak ajakan istri untuk berjalan bersama anak anak, hanya karena saya mengejar target posting.

Butuh waktu beberapa bulan untuk menyadari bahwa childhood never comes twice. Saat saat becanda dengan anak balita saya, mendengarkannya berbicara dengan kalimat yang terpatah patah, menyaksikannya menangis mengelesot ketika diminta mandi, bukan seperti kaset yang bisa di-rewind. Ketika momen momen itu hilang, maka selamanya tidak akan pernah didapat kembali. Egoisme itu pun perlahan lahan surut, walaupun tidak seluruhnya hilang. Ada kalanya dengan sedikit memaksa,saya minta pengertian istri agar diberi waktu barang satu atau dua jam untuk menulis. Istri pun sekarang sudah memahami hobi baru menulis ini. Alhamdulilah istri mendukung sepenuhnya, dengan catatan bahwa tetap harus ada usaha untuk berpijak pada adagium family should come first.

Saya bersyukur masih sempat direpoti oleh anak yang merengek meminta es krim, anak yang mengajak putar putar keliling sebelum berangkat kerja, anak yang menyuruh saya berbaris menirukan tentara, dan anak yang meminta saya berjoget menyerupai badut ulang tahun.

Kehidupan memang tidak selalu berjalan ideal dengan work life balance yang utuh. Tidak jarang ketika pulang ke rumah saya mendapati anak saya sudah tidur. Saya pun membetulkan posisi tidurnya yang melintang tak kenal arah. Suara nafasnya terdengar lembut di kuping, yang seharian terasa panas oleh gagang telepon kantor.

Saya teringat lirik lagu slow rock berjudul Heaven yang dinyanyikan almarhum Jani Lane, pentolan grup hardrock Warrant di era 1990.

When I Come Late At Night

You’re in bed asleep.

I wrap my arm around you

And I Can Feel Your Breathe

Namun pada akhirnya dalam refrain lagu itu sang ayah meyakini bahwa di tengah kerasnya kehidupan, kebahagian bukanlah hal yang sulit untuk direngkuh. Apa pun yang orang katakan tentang kehidupan yang sedang dijalani, kebahagiaan itu kian hari kian dekat.

Heaven is not too far away

Closer to it everyday

No Matter What Your Friend Might Said.

Ditulis Rikho Kusworo selesai 24 November 2012 jam 1.30 pagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun