Mohon tunggu...
Rike Kotikhah
Rike Kotikhah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya merupakan mahasiswi angkatan 2011 Unika Widya Mandala Madiun yang mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). saya tergabung dalam Komunitas Kelas Inspirasi Madiun dan GeNAM (Gerakan Nasional Anti Miras) Madiun. Sejak bulan Agustus 2013, saya bergabung di Yayasan Anak-anak Terang (AAT) Indonesia. Selain sebagai Staff Administrasi, saya juga bertugas di bagian Divisi Jurnalistik Sekretariat Pusat AAT yang membantu tim operasional.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Caring and Giving

18 Desember 2014   01:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:05 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”

Hadits Rasulullah SAW itulah yang selalu membuat saya semangat untuk terus berbuat baik pada sesama. Dan orang tua saya pun selalu mengingatkan saya untuk terus peduli. Sejak kecil, mereka telah menanamkan dalam diri saya untuk selalu berbagi, sekalipun kami dalam kekurangan.

Sekecil apapun rezeki, harus disisihkan untuk sesama.”

Awalnya saya kesal sendiri. “Kita saja dalam kesusahan, mengapa masih harus berbagi?” Pertanyaan dalam hati ini tidak pernah mendapatkan jawaban dari orang tua saya. Selama bertahun-tahun, mereka mengajari untuk terus berbagi. Bukan dengan kalimat motivasi maupun kata-kata mutiara, namun dengan tindakan langsung tanpa memberitahu apa maksudnya. Dari mulai berbagi makanan, beras, pakaian, bahkan uang satu-satunya pun akan mereka berikan jika orang lain lebih membutuhkan. Semua itu mereka lakukan, mereka ajarkan kepada saya, sampai saat ini.

Hingga suatu hari, tepat di tanggal 12 Juli 2014, saya menyaksikan sendiri, seorang perempuan yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji sekitar Rp 400.000,00 per bulan, menyerahkan sebagian uangnya untuk empat orang nenek. Perempuan itu menyerahkan uang Rp 100.000,00 kepada salah satu nenek dan meminta nenek itu untuk membaginya dengan tiga nenek yang lain. Semua terjadi di depan mata saya. Saya melihat langsung sebuah pelajaran yang sangat berharga. Meskipun hidupnya berkekurangan, perempuan itu tidak pernah lelah untuk berbagi. Baginya, untuk bisa berbagi, tidak harus menunggu kaya dahulu. Sekarang, saat ini juga, kita bisa melakukannya. Dan saat itu, saya hanya bisa tersenyum bangga disela tetesan airmata. Karena perempuan itu adalah ibu saya. Perempuan yang selama ini mengajarkan saya untuk berbagi dan peduli. Mengajarkan saya untuk selalu menawarkan tangan untuk membantu sesama. Hingga saya pun menemukan jawaban atas kegundahan hati saya. “Hidup kita memang selayaknya untuk orang lain. Tangan kita, kaki kita, semua Tuhan ciptakan untuk menolong sesama. Menjadi  manfaat, menjadi berkat, adalah kunci bahagia kita.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun