Mohon tunggu...
Rikaz Prabowo
Rikaz Prabowo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kalau tidak menulis, kamu akan dilupakan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seperti Apa Hukuman Mati pada Jaman Dahulu?

26 Februari 2015   04:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 1880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Eksekusi mati dengan cara dicekik dengan sebuah alat. Dokumentasi: kamarasta.com

Assalamulaikum, wr. wb.

Berbicara tentang hukuman mati di Indonesia, apalagi saat ini sedang ramainya pembicaraan mengenai eksekusi mati para gembong narkoba. Eksekusi hukuman mati di masa sekarang ini sudah mengedapankan sisi moril si pelaku dan berupaya mengakhiri hidup si pelaku dengan secepat mungkin agar tidak merasa tersiksa karena kesakitan. Caranya dengan dihadapkan dengan regu tembak. Regu tembak akan langsung menembak jantung si pelaku, kemudian untuk memastikan pelaku mati biasanya diadakan tembakan terakhir di kepala dalam jarak dekat.Tapi tahukan teman-teman bagaimana metode-metode eksekusi mati pada masa pra-Indonesia atau sebelum kemerdekaan? Berikut penulis rangkum dalam beberapa masa. Pada masa Indonesia atau lebih tepatnya dulu Nusantara dipenuhi negara-negara berbentuk kerajaan Hindu dan Budha sekira abad 7 M - 18 M. Hukuman mati dilakukan dengan banyak cara kala itu, salah satunya adalah menusuk dada (jantung) si terpidana dengan keris yang sangat tajam. Adapula hukuman mati lain yakni melemparkan si terpidana ke laut yang sebelumnya telah diberi pemberat. Beberapa kerajaan pada masa itu memang telah memiliki sejumlah fondasi hukum yang kuat. Seperti misalnya Kerajaan Majapahit yang memiliki sebuah kitab hukum pidana bernama Kutaramanawa yang banyak diadopsi dari hukum-hukum agama dan tentu saja juga dipengaruhi dari hukum yang berlaku di India. Selain itu Raja juga telah mengenalkan jabatan Hakim yang resmi diangkat olehnya, yakni Dharmmadyaksa. Lain lagi saat Nusantara telah beralih ke masa Islam, atau saat kerajaan-kerajaan bercorak Islam mulai berdiri menggantikan dominansi kerajaan Hindu - Budha. Kerajaan Islam saat itu menerapkan Hukum Syariah Islam, meskipun beberapa seperti kerajaan Islam di Jawa juga mengakomodir hukum adat setempat. Pada masa Kerajaan Mataram Islam eksekusi hukuman mati dilaksanakan dua opsi yang dapat dipilih, diadu dengan Harimau Jawa atau Hukuman Picis. Hukuman mati dengan cara diadu dengan harimau sudah pasti kita dapat menerka, dimana keadaannya seperti yang kita saksikan dalam film-film Hollywood yang mengisahkan kehidupan Gladiator Roma. Di arena Collosseum itu manusia akan berhadapan dengan Singa, di Mataram maka terpidana versus harimau jawa. Sedangkan hukuman picis ini adalah salah satu hukuman yang paling mengerikan dan menyakitkan. Dimana tubuhnya disaya-sayat dengan pisau dan lukanya diolesi air garam atau cairan asam, berulangkali hingga terpidana mati menahan sakit yang luar biasa. Dalam posisi ini mungkin terpidana lebih memilih cepat mati daripada hidup dengan sakit.

Lain di Jawa lain di Sumatera, di kerajaan Aceh yang menerapkan syariah dengan ketat maka Qishash adalah hukumannya. Qishash adalah hukuman dalam syariah islam yang prinsipnya nyawa dibayar nyawa, pencuri dibalas dengan dipotong tangan, menganiaya orang dipotong kaki, yang berjudi dan kriminal lainnya dicambuk, dirajam, dsb. Tapi hukuman Qishash ini dapat dibatalkan apabila korban/keluarga korban memberikan maaf. Eksekusi hukuman mati yang sudah di vonis oleh Qadi atau hakim biasanya dengan cara di pancung.

Kedatangan bangsa barat di Nusantara nyatanya juga tidak menghentikan hukuman mati. Malah semakin memperkaya "jenis" hukuman mati yang sudah ada sebelumnya. Pernah pada masa VOC sekitar tahun 1722 pernah dilaksanakan eksekusi hukuman mati kepada seseorang pemberontak dengan cara kaki dan tangan yang masing-masing diikatkan pada seekor kuda (4 kuda). Kemudian saat masing-masing kuda itu dipecut dan lari ke arah 4 mata angin maka seketika terpidana akan tertarik hinga putus tercerai berai badannya. Tewas? tentu saja. Sebab sebelum eksekusi ini biasanya terlebih dahulu diadakan eksekusi gantung atau dibacok pada si terpidana. Sehingga sebenarnya si terpidana telah mati. Adapun eksekusi dengan ditarik kuda ini lebih bertujuan untuk memberikan efek jera bagi setiap Inlander agar jangan sekali-sekali berani melawan Pemerintah Kolonial. Pada Abad 19 dan ditahun 1900an eksekusi dengan ditarik kuda ini mulai ditinggalkan dan hanya diganti dengan eksekusi gantung dan dihadapkan dengan regu tembak. Bagaimana saat Pemerintahan Militer Jepang masuk ke Indonesia pada 1942-1945? pada masa itu eksekusi mati selain dihadapkan pada regu tembak, tak jarang pula harus berhadapan dengan algojo yang siap menebas leher terpidana hingga putus dengan sebuah samurai.

Hukuman Gantung saat Masa Hindia Belanda 1900. Dokumentasi: Arsip Indonesia

Satu lagi sebagai penutup, eksekusi pada masa itu tak jarang sengaja diperlihatkan masyarakat alias eksekusi mati memang dihadirkan ditempat-tempat umum. Seperti alun-alun dan lapangan kota. Tujuannya jelas agar masyarakat dapat melihat dan memberikan efek psikologis atau efek jera agar perbuatan para terpidana tidak pernah terfikir untuk dilakukan oleh masyrakat. Wassalamualaikum, wr. wb Tulisan ini juga bisa dibaca di http://indonesialogi.blogspot.com/2015/02/seperti-apa-hukuman-mati.html Sumber:

Arsip Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun