Oleh:
Arif Darmawan Hasibuan
(Pengagas komunitas Sastra Oretan Liar)
Dalam perbincangan sastra, setidaknya ada dua ruh yang tak akan pernah terpisahkan. Yakni ruh membaca dan menulis. Tentu kegiatan sastra dalam hal ini, tak hanya sekedar membaca dan tak hanya sekedar menulis. Dimana kita menghadirkan diri dalam bacaan dan juga menghadirkan jiwa sastrawi ketika menulis. Setelahnya, ada semacam bentuk pertanggungjawaban sosial dan batin. Begitu pula dengan kegiatan bersastra lainnya. Kesadaran bersastra seperti ini sangat alami namun diyakini perlu ada yang namanya proses. Hal seperti ini, sangat manjur bila diintegrasikan dalam instusi pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas para pelajar, terutama mahasiswa.
Melihat betapa pentingnya sastra terutama dalam hal pendidikan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai instusi yang mencetak akademisi atau para cendikiwan muslim di Indonesia sudah seharusnya mengintegrasikan sastra dalam keberlangsungan pendidikan. Memang ironis, mahasiswa hari ini dikhawatirkan hanya sebatas lihai berbicara saja namun sangat krisis untuk menulis. Padahal yang kita tau untuk menunjukkan eksistensi sebagai mahasiswa harus dengan tulisan (karya). Sedemikian merupakan gejala-gejala keterpurukkan eksistensi mahasiswa yang katanya terkenal memiliki sense of intelectuality dan sense of literariness.
Di zaman penjajahan Belanda, walau banyak muatan nuansa politiknya namun sastra menjadi bagian dari khazanah keterdidikan dan menempati bagian cukup penting dalam persekolahan Hindia Belanda. Melalui didirikannya Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian menjadi Balai Pustaka menunjukkan bahwa sastra merupakan bagian penting dalam citarasa dan kesadaran kolonial Belanda. Sebagai keuntungannya, para tokoh nasional dan sastrawan Indonesia dulu yang sempat mengenyam di pendidikan Belanda sangat apresiatif terhadap sastra. Kalau kita berkaca dalam negeri sendiri memang sangat kontras, pendidikan yang berbasis penyeragaman menempatkan sastra pada posisi yang makin jauh tersudut dalam ruang silaturahmi sosial masyarakat. Semua ini diperparah dengan lemahnya apresiasi sastra khususnya dan khazanah intelektualitas umumnya pada kaum terdidik
Seperti yang kita lihat, dibukanya prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, memang memperlihatkan bahwa sastra diapresiasi dengan aktif oleh kampus (UIN). Begitu pula dengan acara Seminar Internasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang diadakan PBSI UIN Jakarta yang mengusung tema “Pendidikan Berbasis Keberagaman Budaya: Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia” beberapa waktu lalu, juga memperlihatkan bahwa sastra diapresiasi oleh masyarakat luas ditengah tranformasi sosial. Pertanyaannya, benarkah sastra sudah diapresiasi dengan baik atau hanya sekedar formalitas belaka?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H