Mohon tunggu...
Riki Goi
Riki Goi Mohon Tunggu... Lainnya - S1-Ilmu Politik

"Menjadi Hebat dengan Mempertajam Daya Kritis Anak Muda"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan Dalam Budaya Patriarki di Nusa Tenggara Timur

3 Oktober 2024   10:36 Diperbarui: 3 Oktober 2024   10:38 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : doc. Pribadi 

Perempuan menjadi topik yang sangat menarik untuk dibicarakan, mengingat perempuan memilik peran yang sangat penting dalam tataran kehidupan manusia. Begitu juga dengan perempuan atau kaum hawa di Nusa Tenggara Timur yang memiliki peran sebagai perempuan karier, ibu rumah tangga juga sebagai penenun, seperti menenun kain ikat dari Flores atau pun menganyam daun lontar seperti di Pulau Timor. 

Kehadiran peran perempuan di berbagai bidang tersebut menjadi sebuah peluang, namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perempuan yang tidak berdaya untuk dapat mengambil keputusan yang baik untuk dirinya maupun masyarakat di sekitarnya. Perempuan sering dimarjinalisasikan, menjadi kelas nomor dua. Demikian juga dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur, tindakan diskriminatif terhadap perempuan tetap berlangsung meskipun di dalam hal-hal tertentu sudah mengalami pergeseran. 

Budaya Patriarki di Nusa Tengara Timur menjadi salah satu faktor dari tindak tanduk ekstensi perempuan NTT. Budaya patriarki dipandang sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki memiliki kedudukan lebih tinggi dari perempuan dalam tatanan sosial. Konsep budaya patriarki dewasa ini melahirkan sistem tatanan sosial yang cenderung kontroversi. Dominan budaya patriarki melahirkan sistem sosial ketidak setaraan gendre. Budaya patriarki di Nusa Tenggara Timur dapat kita lihat dengan jelas dalam sistem perkawinan. Dalam sistem perkawinan di NTT belis menjadi satu hal yang penting untuk di lakukan. Belis sejatinya dapat diartikan sebagai pemberian sesuatu yang bersifat materil kepada kerabat perempuan dan sebagai bentuk penghargaan kepada kerabat perempuan dalam sistem perkawinan. 

Perkawinan dalam tradisi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh sistem genelogis patrilinear atau mengikuti garis keturunan ayah. Sistem genelogis patrilienar ini menjadikan marga atau suku dari laki-laki sebagai identitas penting dan seolah-oalah menjadi mutlak. Di sisi lain proses kawin tangkap seperti yang terjadi pada tahun 2023 di pulau Sumba Barat Daya menunjukan secara tidak langsung praktik budaya itu berdampak pada perampasan hak perempuan dalam memilih pasangan hidup. Dari dua tradisi budaya yang di jabarkan di atas menunjukkan bahwa dominasi patriarki di Nusa Tenggara Timur tidak bisa dipungkiri bahakan tidak sedikit kasus KDRT sering terjadi di NTT yang di sebabkan oleh praktik budaya yang kurang mempertimbangkan kesetaraan gender. Budaya patriarki semacam ini, haruslah menjadi cerminan untuk terus memperjuangkan hak perempuan.

Dalama Agama terkhusus di Nusa Tenggara Timur dengan mayoritas beragam kristen dalam alkitab telah mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan secara sejajar untuk saling melengkapi dan mengurus segala ciptan-Nya. Namun realitanya perempuan tidak sepenuhnya menjalankan peran yang dimaksudkan dalam agam bahkan perempuan selalu di sematkan dengan stigma makluk yang lemah. Berangkat dari fenomena ini sebagian peran dalam segi kehidupan sosial perempuan sering didiskriminatif. Budaya dan Stigma seperti ini sudah seharusnya di hilangkan, memang menghilangkan sebuah budaya tidaklah mudah, akan tetapi untuk menguranginya masih bisa menjadi harapan. Mensubtitusikan budaya yang lebih baik, mencitrakan perempuan sebagai sosok yang mulia, serta memperbaiki akhlak pribadi manusia bisa menjadi langkah kecil yang nyata untuk menumpas paradigma patriarki. Bila hal ini dilakukan, maka tingkat kriminalitas dengan korban perempuan akan ikut menurun. 

Mengingat data kekerasan terhadap perempuan yang di rangkum oleh tiga lembaga yakni, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komnas Perempuan, dan Forum Pengadaan Layanan (FPL). "Jumlah kekerasan terhadap perempuan yang tercatat pada sistem data tiga lembaga sepanjang 2024 mencapai 34.682 korban. Kita ketahui bersama bahwa tidak semua kasus timbul dari adanya sistem budaya patriarki namun di sini penulis hanya melihat salah satu ruang lingkup yaitu adanya peristiwa membatasi ruang lingkup perempuan melalui sistem budaya patriarki. 

Kupang, Oktober 2024

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun