Di bawah Ahok, Jakarta sedang berkembang menuju sebuah kota yang semakin modern, nyaman, dan beradab. Sebelum hiruk-pikuk Pilkada Jakarta ini bergulir kencang seperti saat ini, saya tadinya cemas dengan sebuah angka yang sebetulnya masih berjangka 6 (enam) tahun ke depan: 2022. Setelah tahun itu, tahun di mana Ahok akan selesai memimpin Jakarta, mungkinkah Jakarta akan terus bergerak maju dan tidak melangkah mundur kembali?
Dalam jangka 6 tahun ke depan itu, Jakarta diperkirakan akan semakin tertata. Transporatasi publik lancar. Mayoritas publik DKI akan memilih angkutan umum karena kelancaran dan kenyamanannya. Jalanan lengang karena hanya diisi bis-bis angkut yang besar. Tidak ada lagi sampah berserakan di jalanan. Kesan kumuh di berbagai sudut kota sirna. Banjir tinggal menjadi cerita masa lalu. Angkutan kota (angkot) yang menjadi salah satu biang kemacetan tidak terlihat lagi di jalanan, digantikan dengan bus-bus sedang yang modern dan canggih yang mampu menampung lebih banyak penumpang. Ruang terbuka hijau terlihat di mana-mana. Kali-kali Jakarta menjadi pusat wisata. Pelayanan publik pegawai Pemprov cepat, sigap, cekatan berkat etos kerja profesional yang ditanamkan dan dicontohkan Ahok. Puskesmas dan RSUD akan menjadi rumah sakit modern, dengan peralatan dan perlengkapan yang bahkan melampaui rumah-rumah sakit swasta unggulan yang sekarang ada di DKI dan sekitarnya. Orang pun tidak lagi malas keluar rumah di saat libur atau keluar kantor saat kerja untuk sekadar makan siang di suatu tempat karena tidak ada lagi kemacetan, juga karena pemandangan yang hijau dan bersih dapat dinikmati di mana-mana. Anak-anak tidak stres karena tidak kekurangan tempat bermain. Hidup juga semakin damai karena premanisme serta organisasi-organisasi yang menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuannya tidak diberi tempat atau bahkan lenyap dengan sendirinya. Last but not least, Jakarta yang tertata dan bersih juga akan membuat orang akan merasa risih untuk bertindak sebagaimana biasanya terjadi pada masyarakat yang belum beradab penuh, seperti: merokok di sembarang tempat, meludah di sembarang lokasi, ataupun membuang sampah seenaknya.
Tidak ada keragu-raguan akan hal tersebut. Sosok Ahok yang pekerja keras, tulus-jujur, tegas, visioner, dan berintegritas tinggi memberi jaminan. Kinerja 2 (dua) tahun ini setidaknya menguatkan harapan dan keyakinan tersebut.
Itu cerita harapan dan keyakinan tentang Jakarta di bawah Ahok sampai tahun 2022. Itu juga sekaligus kecemasan tentang Jakarta setelah 2022. Saya benar-benar cemas, seandainya bukan Ahok lagi yang memimpin Jakarta setelah 2022, akankah Jakarta masih seperti itu? Mungkin saja wakil gubernurnya akan menang lagi di jalur independen, dan lebih dari itu menjiwai visi Ahok atau bahkan lebih unggul lagi dari Ahok. Mungkinkah? Di luar Ahok, kita disajikan teka-teki alias ketidakpastian tentang masa depan Jakarta pasca-2022.
Ada kekhawatiran akan melangkah mundur kembali. Mungkin saja calon perseorangan tidak akan ada lagi tempatnya. Partai politik tetap tidak mampu melahirkan kader yang unggul, minimal setara Ahok, sebagaimana kita saksikan saat ini. Partai semakin mementingkan mahar politik dari seorang calon daripada kualitas personal dan profesionalnya. Isu-isu primordial tiba-tiba muncul kembali dan mendominasi, mengalahkan kualitas/kapabilitas calon serta riwayat kinerjanya. Dan sebagainya dan sebagainya. Alhasil, gubernur pengganti akan “memberi” jalan kembali bagi Jakarta ke arah kemerosotan.
Kekhawatiran itu tidak berlebihan. Jakarta pernah memiliki seorang Ali Sadikin. Prestasinya menyulap Jakarta dari kota yang tidak ada apa-apanya menjadi kota yang modern dan beradab tidak bisa disanggah. Namun, apa yang terjadi setelah itu? Jakarta dikuasai para birokrat, yang berperan lebih sebagai pangeran daripada bekerja-berpeluh meningkatkan apa yang telah dilakukan Sadikin. Di tangan para birokrat, peradaban yang telah dibangun mengalami kemunduran kembali. Korupsi meraja lela, etos kerja para pegawai di titik nadir, infrastruktur parah, kemacetan semakin menjadi-jadi tiap tahun, kota begitu kumuh dan tak nyaman ditinggali. Para gubernur setelah Sadikin seperti berjalan tanpa visi, keteguhan hati, serta semangat yang sama dengan Sadikin.
Tiba-tiba saya tersadar. Ancaman kemunduran itu mungkin saja tidak menunggu waktu lebih lama (sampai setelah 2022), tetapi besok: 2017. Persisnya, setelah Oktober 2017, ketika berbagai manuver partai dan pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan memaksa Ahok hanya sampai di tahun 2017. Maka, kalau Ahok tak memimpin Jakarta setelah 2022 saja saya sudah cemas, apalagi kalau Ahok dihentikan pada 2017. Tidak tahu Jakarta akan kembali jadi apa.
Untunglah, saya memiliki rekan-rekan warga Jakarta yang secita-cita dengan saya tentang Jakarta. Yang cerdas, rasional, dan memiliki impian yang tinggi akan kotanya. Yang muak akan perilaku korupsi para penyelenggara kota termasuk anggota DPRD dan partai-partai, kemunafikan kaum elite, serta kekerasan atas nama agama. Yang jijik melihat kotanya yang kumuh karena jalanan yang macet dan banjir yang selalu mengintai. Yang ingin suatu saat akhirnya dapat menikmati sebuah kota di sebuah kota yang indah, nyaman, sejuk, dan damai. Iya, yang beradab! Yang kompak mengatakan “Enough is Enough!” untuk elite-elite yang menggunakan agama untuk kepentingan politik dan “perut”-nya sendiri, dan dengan begitu memanipulasi rakyat/umat. Yang akhirnya sadar bahwa memilih Ahok berarti memilih untuk menolak Jakarta melangkah mundur kembali.