Dalam sebuah tulisan di Kompasiana beberapa waktu lalu di bawah judul “BPJS Kesehatan dan Kegalauan Karyawan Swasta”, saya menulis apa yang sebetulnya mulai terbukti sekarang. Berikut petikannya:
“Negara bisa saja tetap memberlakukan jaminan kesehatan secara menyeluruh melalui BPJS, tetapi dengan satu syarat: benahi dahulu infrastruktur layanan kesehatan mulai tingkat Posyandu, klinik, Puskesmas, sampai RSUD. Pembenahan itu berfokus pada lima indikator mutu yang paling utama: mutu atau kompetensi tenaga medis, kelengkapan dokter spesialis di klinik-klinik, kecepatan layanan, jaminan ketersediaan obat-obatan, vaksin, dan fasilitas penunjang, serta kebersihan dan kenyamanan. Melihat kondisi objektif saat ini, rasa-rasanya kita harus menunggu sampai 15–20 tahun lagi. Itu pun kalau negara serius mengurusinya mulai dari sekarang. Sebelum semua itu dibenahi secara mendasar, BPJS akan terus menjadi kontroversi serta beban bagi sebagian warga negara.”
Kontroversi BPJS Kesehatan
Apakah yang terbukti itu? Itu adalah: BPJS Kesehatan akan terus menjadi kontroversi karena dibangun di atas basis yang terlampau ambisius tanpa memperhitungkan realitas berupa kemampuan anggaran pemerintah, infrastruktur layanan kesehatan, serta sikap mental rakyat Indonesia. Bagaimana menjelaskannya?
Pertama, kemampuan anggaran pemerintah. Pemerintah bersama DPR sudah mengetuk palu bahwa jangkauan peserta BPJS Kesehatan adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya warga masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi. Lugasnya: orang kaya raya sampai rakyat miskin-jelata dapat menikmati layanan BPJS Kesehatan. Iya, 250 juta orang.
Itu berarti, sebagai konskuensinya pemerintah harus siap melayani 250 juta orang. Seharusnya, bagian dari kesanggupan itu adalah memberikan dana talangan ketika BPJS Kesehatan mengalami defisit. Lha, kan undang-undang JKN itu diketok dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi? Bagaimana faktanya?
- Pemerintah galau-gundah-gulana ketika fakta menunjukkan BPJS Kesehatan mengalami minus 7 triliun pada awal tahun ini. Mau dapat uang dari mana? Penerimaan pajak dan penghasilan negara nonpajak di luar harapan.
- Dari kelompok peserta penerima upah, belum semua juga memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan. Mereka ini umumnya berasal dari kalangan karyawan menengah ke atas yang tidak mau merisikokan diri dan keluarganya dengan menjemput layanan BPJS Kesehatan (meskipun menyetor iuran bulanan), dan lantas memilih layanan kesehatan sendiri sekalipun dengan biaya sendiri. Kualitas layanan BPJS Kesehatan dianggap kurang kredibel, rumit, dan penuh risiko. Tidak bisa dibayangkan kalau mereka juga memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan. Defisit BPJS Kesehatan pasti akan berlipat-lipat.
- Belum semua warga negara menjadi peserta saja BPJS Kesehatan sudah minus, bagaimana kalau seluruh warga negara (250 juta orang) menjadi pesertanya? Tidak bisa dibayangkan kalau mereka juga memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan. Defisit BPJS Kesehatan bukan berlipat-lipat lagi, tetapi BPJS Kesehatan bangkrut.
Ketika pemerintah gundah gulana meng-cover BPJS Kesehatan yang mengalami defisit, bukankah itu berkebalikan dengan pemandangan saat-saat awal ketika pemerintah bersama DPR dengan kepercayaan diri yang tinggi mengesahkan UU JKN? Bagaimana kajiannya waktu itu? Kok jadi begini?
Mungkin kita meniru-niru Amerika Serikat dengan OBAMA-CARE-nya. Namun, kita lupa, negara ini memiliki sumber daya keuangan yang berlimpah, termasuk misalnya untuk menutupi defisit.
Kedua, infrastruktur layanan kesehatan. Di mana-mana dikeluhkan infrastruktur BPJS, yang membuat orang khawatir dengan banyak risiko: antri, was-was akan kompetensi tenaga medis, fasilitas dan obat-obatan seadanya, tidak adanya dokter spesialis, tenaga medis tidak ada di tempat, risiko dalam perjalanan ketika harus ke rumah sakit rujukan, dan lamanya proses di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit rujukan. Ada juga kekhawatiran dengan adanya penetapan jumlah maksimum honorarium jasa dokter, yang berdampak pada kualitas layanan. Konsumen juga ragu apakah obat dan vaksin yang dibutuhkan tersedia secara lengkap, gratis, dan bermutu (nongenerik). Kebijakan diskriminatif rumah sakit rujukan berupa pembatasan jumlah kamar rawat inap bagi pasien BPJS juga telah menjadi keluhan yang umum. Belum lagi kebijakan pembatasan jumlah pasien per dokter per hari yang bisa berakibat penundaan waktu pengobatan. Last but not least, tenaga medis di rumah sakit pemerintah kerap dituding bersikap diskriminatif terhadap “pasien BPJS”.
Pemerintah mencoba mengatasi keterbatasan di rumah sakit pemerintah dengan menggandeng rumah sakit swasta. Namun, tampaknya hitung-hitungan kerja samanya kurang memperhitungkan variabel-variabel sebagaimana biasanya berlaku pada sebuah institusi bisnis. Sama halnya ketika penerbit swasta diminta untuk mencetak buku-buku elektronik buatan pemerintah, namun harganya hanya mengikuti harga pokok produksi (HPP). Tidak mengherankan, kerja sama semacam itu ditanggapi dengan dingin.
Sebagai jalan keluarnya, pemerintah menaikkan iuran bulanan. Jalan instan ini membuat orang menyindir “Berani mengesahkan UU kok gak modal”, “Mau enaknya saja.” Pihak yang paling gusar, tentu saja, adalah karyawan-karyawan perusahaan yang selama ini belum sedikit pun menikmati layanan BPJS Kesehatan karena dianggap penuh risiko dan tidak nyaman, namun tetap membayar iuran bulanan.