Mohon tunggu...
rika novayanti
rika novayanti Mohon Tunggu... -

I am high and colorful as the rainbow

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(SOK) membaca FPI lewat si Erich Fromm

7 Februari 2011   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

*catatan membunuh risau pada halte dan stasiun

Siang itu kartu the bodyshop (TBS) people saya tidak bisa digunakan, lalu saya disarankan untuk membuat kartu baru. "Lagi pula sekarang model kartunya baru, kartu mba ini, keluaran lima tahun lalu ya? Sekarang modelnya sudah beda," kata petugas TBS. Toh juga tidak rugi, maka saya mengiyakan saran dia.

Selanjutnya saya harus menulis data diri saya. Agak mengejutkan ketika agama menjadi salah satu yg harus saya cantumkan. Spontan saja saya bertanya, apa hubungan antara agama saya dan sebuah kartu point reward.

Ini bukan soal saya beragama atau tidak atau soal apa agama saya, tentu juga bukan soal malu atau takut mengakui agama saya, tetapi saat pertanyaan mengenai berapa pendapatan anda sebulan, berat badan, atau umur saja bisa menjadi pertanyaan yg kurang sopan, mengapa pertanyaan mengenai agama dianggap lumrah?

Mungkin ini thesis yang salah, tapi di Indonesia, setidaknya di lingkungan yang pernah saya ketahui, banyak yang beragama sebagai bentuk melembagakan diri. Mencari orang-orang yang sama dan dapat membantu mengikis rasa keterpisahan diri atas dunia luar dengan cara mencari orang-orang yang sama.

Meminjam istilah erich fromm, Manusia adalah kehidupan yang sadar akan dirinya. Kesadaran akan dirinya dan sekitarnya, serta keterpisahan akan asalnya (tentu umat beragama kebanyakan yg saya ketahui diajarkan hidup utk mempersiapkan hidup sesudah mati, yaitu hidup asalnya) membuat disunited existance (eksistensi tak bersatunya, keterpisahan manusia) menjadi suatu bentuk yang mengerikan.

Kengerian akan keterpisahan itu membentuk budaya mengenal tuhan, pemujaan pada dewa, atau bentuk lainnya dalam ritual, mantra-mantra, gerakan-gerakan, hingga mencapai trance, keadaan di mana orgasme membawa pada hilangnya batasan yang membuat keterpisahan pada dunia luar.

Orgasme semacam itu adalah menggelegak, berapi-api, dan cepat. Mungkin semacam trance menggunakan obat bius atau saat berhubungan seksual.

Mungkin hal inilah yang membuat hubungan personal dengan tuhan tidak cukup bagi beberapa orang. Dibutuhkan adanya kesatuan di mana orang-orang yg tergabung di dalamnya berada pada situasi masokhistik, membiarkan diri untuk patuh pada suatu perintah atau mungkin siksaan yang sama, sehingga menanggung hal yang sama dan tak lagi ada keterpisahaan. Situasi yang lebih membutuhkan kesamaan ketimbang kesatuan. Situasi yang secara tak sadar membawa individu di dalamnya pada situasi terkonformitas.

Tentu "trance" dalam konformitas ini jauh lebih stabil ketimbang trance individu ketika menghadap tuhannya. "trance" ini menjadi hal nyaman bagi individu sehingga mereka mencari dan mencari individu lain guna "mengamankan" kesempatan "trance" mereka itu.

Tak seperti kesatuan melalui hubungan personal dg tuhan, maupun trance dalam hubungan seksual, kesatuan dalam konformitas lebih tenang dan rutin, tidak menggelegak. Semacam penyerahan diri pada tanya yang tak berjawab, tanpa ada perasaan salah karena ada banyak individu lain yang sepenanggungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun