"Masjid BUMN kok ceramahnya Pro-Khilafah". ~Komaruddin Hidayat, suaradotcom
Dalam uraian sejarah, bangsa kita dibangun atas dasar kesepakatan yang mengikat dalam ideologi bangsa Indonesia yaitu nilai dan dasar Pancasila. Sejarah juga pernah menggoreskan pena bahwa bagaimana mencekamnya ketika ideologi negara mau diganti dengan komunisme. Meski kini PKI telah hilang, tetap saja ideologinya masih hidup. Karena, selama masih ada kehidupan, maka selama itu pula akan ada ideologi manusia.
Selain itu, saat ini kita sering terkecoh oleh retorik yang berbunyi "dia PKI, si anu PKI, bubarkan PKI" sehingga teriakan ini menghiasi tahun-tahun kita di negara ini, apakah kalian tidak bosan? Atau kalian juga tidak sadar bahwa di balik itu ada ideologi yang telah lama menggurita di tubuh bangsa kita ini, mereka masuk ke lembaga dan instansi pemerintah, bahkan mereka menguasai ruang-ruang ibadah di pemerintahan?
Tercatat dalam survei Alvara, Oktober tahun 2017 ada temuan 19,4% PNS menolak ideologi Pancasila, kan ini aneh, bagaimana tidak, mereka ini kan dibiayai negara tapi menolak ideologi negara tersebut dan ini bukan hanya di PNS, di kalangan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah pun tak luput masuk lingkaran setan tersebut. Mereka membentuk sel-sel jaringan yang mengakar hingga ke anak-anak sekolahan dari SD hingga SMA.
Memang cukup mengerikan, bibit-bibit radikalisme telah disemai sejak lama melalu gerakan tarbiyah. Dalam penelitian Smith Hadar (1992:177) Saudi menghabiskan dana 1 Milyar Dollar Amerika untuk mempromosikan Islam dengan brand Saudi di Asia Tengah, upaya ini juga dilakukan untuk melawan pengaruh Iran di berbagai negara di Asia. Kira-kira lawan politik Iran hari ini siapa? Jawabannya adalah Amerika. Karena itu, tak kalah hebat, Amerika membuat brand yang sama untuk memporak-porandakan Timur Tengah dengan terbentuknya ISIS yang dibidani oleh Hillary Clinton.
Di Indonesia, Islam brand Saudi baru berkembang sebatas pemahaman yurisprudensi, amaliyah dan politik. Namun, hal ini juga sangat mengkhawatirkan, karena semakin ia berkembang dan mampu membentuk kemandirian ekonomi dengan waktu seketika negara ini akan luluh-lantah di tangan mereka, boleh jadi mereka akan mempersenjatai kelompok dan gerakannya. Mungkin, sedikit kita bisa membayangkan Timur Tengah saat ini.
Jika kita diamkan persoalan ini, maka mereka akan merenggut nyawa Nasionalisme. Ibu Pertiwi hanya tinggal nama atau ganti nama jadi Ummi Pertiwi seperti celetukan seorang Ustadz yang terafiliasi Islam brand Saudi.
Dalam hal ini, Badan Intelijen Negara (BIN) juga mencatat, ada 41 dari 100 masjid milik kementerian, lembaga, dan BUMN sudah terpapar paham radikal, 11 Masjid di kementerian, 11 masjid di lembaga negara, dan 21 masjid di BUMN. Jumlah yang fantastis untuk BUMN, apa akar permasalahannya?
Permasalahannya pemerintah abai dalam menangani masalah ini, bayangkan jika masjid yang mereka kuasai sebanyak itu, kita bisa menghitung dari hasil kotak amalnya saja sudah berapa rupiah? Dan hal itu mereka diatribusikan kemana? Boleh jadi untuk membangun kemandirian ekonomi mereka melalui lembaga-lembaga filantropi yang dibentuk oleh mereka.
Lantas harus seperti apa? Pertama, solusinya adalah reformasi birokrasi dan mengamputasi jaringan radikalisme ini. Karena beberapa program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pun itu tidak efektif, justru malah program seperti ini salah sasaran.Â
Kedua, pemerintah harus selektif dalam memilih menteri, terutama pilihlah menteri yang berani melawan radikalisme di tubuh negara, karena ia akan seperti parasit yang terus menggerogoti aset negara.