“Eh, tu cewek lewat lagi tuh.”
Anak-anak laki usia remaja yang biasa nongkrong di poskamling bersuit-suit menggoda anak perempuan cantik yang lewat di hadapan mereka. Sedangkan Adi acuh tak acuh tetap asyik memainkan gitarnya di antara keriuhan teman-temannya.
Duh, mereka lagi. Gerutu Ica dalam hati.
Ica merapatkan jaket merah mudanya dan menurunkan tudung jaketnya hampir menutupi muka. Ia berjalan setengah berlari di siang hari bolong itu. Berusaha melewati kumpulan anak lelaki yang sedang menggoda dirinya secepat mungkin.
“Tunggu!” Tiba-tiba Adi meletakkan gitarnya dan mengejar Ica.
Ica tetap melanjutkan langkahnya tapi kali ini ia sedikit melambatkan temponya. Adi berusaha mengimbangi jalannya Ica yang tidak mau berhenti dan mengikutinya dari samping.
“Kemarin kita belum sempat ngobrol banyak di rumah kamu. Soalnya ada ibuku di situ.” Adi membuka pembicaraan dengan sedikit terengah-engah setelah mengejar Ica tadi.
“Oh ya, barangkali kamu bingung kenapa kemarin aku bilang ke mereka teman-temanku bahwa kamu itu milikku, itu hanya untuk menjaga kamu supaya kamu tidak diganggu oleh mereka lagi. Jadi jangan bingung lagi ya. Maaf kalau sudah bikin kamu salah sangka terhadapku.” Tutur Adi menjelaskan ke Ica sambil nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Terima kasih ya kamu sudah mau nolongin aku.” Ica melirik sekilas ke Adi kemudian memalingkan mukanya ke depan lagi sambil tetap berjalan lurus. “Apa ada sesuatu yang aku bisa lakukan untuk membalas kebaikanmu itu?” Ica bertanya dengan ragu.
“Eh, ga usah. Ga usah. Aku bantuin kamu karena ya cuma mau nolongin aja. Temen-temenku itu emang kadang-kadang suka keterlaluan bandelnya.” Sahut Adi dengan cepat.
Tiba-tiba Adi teringat sesuatu. “Ngomong-ngomong, aku boleh minta sesuatu ga? Anggap aja sebagai balas jasa dari kamu.” Adi menggaruk-garuk lagi kepalanya.