Mohon tunggu...
Rika Apriani
Rika Apriani Mohon Tunggu... Novelis - Writer, author, blogger. Nama Pena: Zanetta Jeanne.

Creating my own imaginary world through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hitam tapi Putih

14 Maret 2024   08:08 Diperbarui: 14 Maret 2024   08:09 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedih hatiku melihat Ratuku sedang gundah gulana hari ini. Tak rela rasanya melihat dia begitu menderita seperti sekarang. Teringat olehku kejadian di sore hari kemaren, di mana para penduduk mencerca dan menghinanya habis-habisan. Mengata-ngatainya sebagai penyihir jahat dan keji. Menuduh Ratuku, ratu yang selalu terlihat cantik dan bersahaja di mataku itu, sebagai biang keladi penyebab keonaran segala macam kesialan yang terjadi di desa kami. Menghakiminya sebagai otak di balik semua musibah yang terjadi di dusun, tanpa bukti-bukti yang jelas.

Padahal sang Ratu menurutku sangatlah welas asih dan mendahulukan kepentingan orang banyak di atas segalanya, sampai-sampai ia mengorbankan kepentingan dirinya sendiri. Ia rela mengasingkan diri jauh ke tengah hutan untuk menghindari sangkaan penduduk akan setiap peristiwa buruk yang terjadi di desa. Ratuku memilih mengalah untuk hidup sendiri di hutan belantara jauh dari keramaian, demi menuruti keinginan para penduduk yang tidak suka, bahkan banyak yang benci kepadanya. Walaupun selama ini tidak ada kesalahan sedikitpun yang ia perbuat kepada mereka.

Hanya aku, pengawal sekaligus pelindungnya, yang bisa melihat dan merasakan kebaikan hati dan kesucian pikiran Ratuku. Ingin rasanya aku berteriak dan berlari keliling desa untuk memberitahukan kepada orang-orang kampung yang berpikiran dangkal itu, bahwa dugaan mereka tentang sosok Ratu Penyihir Hitam yang selama ini tertanam di dalam pikiran mereka itu tidak benar. Namun aku menyadari bahwa hal itu akan percuma. Sia-sia saja. Hanya buang-buang waktu. Apalah aku ini, cuma seorang pengawal setia sang Ratu. Mereka pastinya tidak akan pernah bisa percaya padaku. Karena yang ada dalam pikiran mereka, aku akan membela mati-matian Ratuku dan membohongi mereka.

Sejujurnya pemikiran tersebut ada benarnya juga. Ratuku spesial hanya memilihku menjadi ajudannya. Ya benar aku, di antara yang lain. Walaupun banyak laki-laki yang mengantri dan menginginkan untuk menjadi pengawal Ratuku untuk melindunginya setiap waktu. Mungkin karena itu mereka menjadi membenci dirinya. Semua laki-laki yang tidak terpilih tersebut berubah menjadi tidak menyukainya, karena Ratuku telah menolaknya. Bisa jadi. Hatiku mendadak terasa berbunga-bunga. Ada sesuatu yang menggelitik. Seperti kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku. Sensasi yang aneh, tapi membuatku bahagia. 

Ah, apakah ini yang orang-orang bilang sedang dilanda kasmaran? Apakah saat ini aku sedang jatuh cinta?

Apalah daya, aku hanya seorang pengawal yang mengabdi dan rela melakukan apa saja demi sang Ratu. Aku tidak tampan, malah bisa dikatakan buruk rupa. Badanku hitam legam. Banyak orang yang takut ketika melihatku, atau saat berpapasan denganku. Kelebihanku hanya satu, yaitu kegesitan tubuhku untuk berpindah-pindah tempat dalam menjalankan tugas yang diberikan sang Ratu. Termasuk pada saat Ratuku terancam bahaya, dengan badanku yang lincah, aku bisa sigap langsung melawan pihak-pihak yang ingin mencelakainya. Dengan cepat dan cekatan aku mampu mengusir mereka semua dan melindungi Ratu dari malapetaka. Andai Ratuku bisa memahami perasaanku saat ini. Andai ia tahu apa yang ada di dalam pikiranku sekarang.

"Diaval, coba kamu kemari sebentar." Aku tersentak dari lamunanku dan bergegas menghampiri Ratuku. Hmm, wangi harum tubuh Ratu junjunganku tersibak dan masuk ke dalam hidungku. Fokus Diaval, fokus. Ujarku dalam hati. Aku berusaha menenangkan hati yang tiba-tiba menjadi dag dig dug tak karuan. Ratuku mendekat ke tubuhku yang hitam pekat dan menjentikkan jemarinya yang lentik ke arahku. "Tolong bawakan aku bunga Edelweiss dari puncak gunung. Taruh di kantong kecil yang sudah kusematkan di tubuhmu. Aku membutuhkan bunga itu segera untuk mengobati hatiku."

Hendak kujawab Ratuku dengan kata-kata yang lemah lembut dan menyejukkan hati. Ingin kuberi semangat dan dukunganku untuknya, bahwa masih ada aku yang selalu dan akan terus mendampinginya. Tapi tenggorokanku terasa kering. Yang keluar dari mulutku cuma suara parau yang tak jelas dan tak berarti. Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan bergegas pergi untuk menunaikan tugasku. Terbang jauh mengepakkan sayap-sayap hitamku ke puncak pegunungan, demi mendapatkan bunga Edelweiss kesukaan Ratuku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun