Secara Etimologi "pertumbuhan" memiliki arti perkembangan yang mengarah pada kemajuan. Apabila kita berbicara mengani pusat pertumbuhan (growth pole) maka akan identic dengan Kawasan atau wilayah yang memiliki perkembangan yang sangat pesat. Akibatnya, Kawasan tersebut dijadikan sebagi pusat pembangunan yang dapat membawa dampak besar serta pengaruh untuk wilayah itu sendiri dan juga wilayah sekitarnya (spread effect). Wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan biasanya akan dipenuhi oleh beragam aktivitas termasuk kegiatan ekonomi seperti perdagangan, wisata, bisnis, pendidikan, distribusi dimana di dalamnya terjadi proses interaksi. Terjadinya interaksi inilah yang akan menentukan proses perkembangan di dalam wilayah tersebut dan sekitarnya. Interaksi dan kegiatan yang menyangkut perekenomian ini mengarah pada aktivitas ekonomi yang saling menunjang antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya (wilayah berkembang maupun wilayah lain yang menjadi pusat pertumbuhan). Manusia pastinya akan saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Agar suatu wilayah dapat memenuhi kebutuhan manusia di sekitarnya, maka wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan mengambil peran sebagai pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya dan biasanya memiliki sektor unggulan dimana produk yang dihasilkan dapat memenuhi permintaan (kebutuhan) yang cukup besar. Sektor ungggulan ini potensinya mengarah pada perkembangan perekonomian wilayah dan dapat menyebabkan laju pertumbuhan yang berkembang cepat. Contohnya di Indonesia sendiri Surabaya ditetapkan sebagai kota pusat pertumbuhan oleh bappenas akibat banyaknya kegiatan industri yang berkembang, bahkan hasilnya tidak hanya untuk daerah sekitarnya saja (Gerbangkertasusila) melainkan telah diekspor ke negeri lain pula.
Wilayah pusat pertumbuhan apabila dilihat secara kasat mata dapat diukur melalui ketersediaan fasilitasnya. Fasilitas pada wilayah pusat pertumbuhan akan memberikan kelancaran dan kemudahan dalam segala hal. Karena kemudahan inilah, menjadi daya tarik berbagai kalangan untuk singgah dan memulai aktivitas ekonomi di dalamnya seperti membuka usaha dan lain sebagainya. Fasilitas memberikan akses bagi masyarakat untuk membantu, mencapai, dan melakukan segala hal termasuk kegiatan ekonomi.
Menurut ahli ekonomi Prancis, Francois Perroux, pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di sembarang tempat, melainkan di lokasi titik-titik tertentu. Karena itu, perlu dibangun beberapa wilayah pusat sebagai kutub pertumbuhan agar dapat menimbulkan spread effect ke wilayah lain. Namun, fakta disekitar tidak seperti yang diharapkan, dampak backwash effect lebih mendominasi ketimbang spread effect. Sesuai dengan pendapat beberapa ahli ekonomi wilayah yang menyatakan bahwa growth pole merupakan penyebab ketidakseimbangan wilayah. Menurut mereka, strategi growth pole tidak membawa pembangunan terhadap wilayah hinterland. Di dalamnya hanya terjadi pengurasan sumber daya hinterland oleh wilayah yang menjadi pusat sehingga semakin mendorong terjadinya ketimpangan. Padahal, pada hakikat wilayah pusat pertumbuhan diharapkan dapat memberi dampak pembangunan pada daerah sekitarnya agar terjadi pemerataan pembangunan.
Konsep growth pole banyak dijadikan dasar oleh negara-negara berkembang maupun negara maju dalam bentuk strategi dan kebijaksanaan pembangunan industri. Di Indonesia sendiri, konsep growth pole lebih banyak memberi pengaruh backwash effect yaitu dalam bentuk ketimpangan kesejahteraan antara kota-kota pusat dengan wilayah sekitarnya seperti jabodetabek. Pada tahun 2019, Indonesia menjadi negara dengan ketimpangan kekayaan ekonomi tertinggi di dunia ketiga. Hal ini dapat secara nyata kita lihat kesenjangan ekonomi ada dimana-dimana terkhusus di Kawasan Jabodetabek. Penyebab ketimpangan ini biasanya karena distribusi yang kurang merata dari daerah pusat ke wilayah hinterland, selain itu individu juga lebih cenderung berpindah pada Kawasan yang potensial yaitu pada kota-kota yang menjadi pusat pertumbuhan. Wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan akan lebih cepat mengalami pembangunan karena investor akan lebih tertarik dan lebih percaya terhadap potensi di masa depan. Menurut Kuznets 1955, Ketimpangan merupakan tahap yang tak terhindarkan dalam menuju kesuksesan ekonomi. Menurutnya yang kaya akan menjadi lebih kaya, bukan yang miskin yang mengejar ketertinggalan. Jika menginginkan kemajuan, ketimpangan tidak dapat dihindari di awal sebelum bisa menjadi lebih baik dan tumbuh pada akhirnya.
Dalam masalah ketimpangan ini pemerintah sebagai pemangku kebijakan dapat berperan dalam mengelola, menggali,dan meningkatkan pendapatan melalui potensi sumber daya masing-masing daerah. Pemerintah juga perlu menyediakan failitas transportasi dan fasilitas jaringan serta infrastruktu dasar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, tidak ada keterbatasan dalam mendapat akses dan menjangkau segala hal. Desain ekonomi yang distributive juga dapat mengatasi masalah ketimpangan yang ada. Adanya teknologi bisa menjadi peluang untuk mewujudkannya. Peningkatan kualitas SDM juga menjadi faktor dalam menekan ketimpangan yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H