Tantangan Perawat Laki-laki terhadap Stereotip Gay di Indonesia
Oleh Rika Salsabilla Raya
"Tumben pulang kerja cemberut, ternyata tengah malam digodain sama pasien cowok".Â
**Tulisan ini sebenarnya bukan ingin menyudutkan kaum LGBTQ, dengan segala hormat semua orang dapat memberikan opini. Sekali lagi, tulisan ini bukan sebagai bentuk kebencian.Â
Sebelum membahas lebih dalam, saya ingin bercerita terlebih dahulu karena ada sebab mengapa tulisan ini bisa dibuat. Suatu hari, tak seperti biasanya pasangan saya itu bermuka manyun, asam sekali. Saya tanya kenapa hanya diam, saya biarkan sebentar.Â
Saat di tempat tidur menjelang mata 5 watt, ia bercerita kalau bertemu pasien alien (konotasi tak seperti bertemu pasien di hari-hari normal). Pasien ini sebut saja abang X selalu manggil untuk menemani, entah alasan ulu hati nyeri, minta ditemani ke kamar mandi, ada saja alasan. Tombol bantuan di atas tempat tidur pasien itu yang membuat perawat (kebetulan pasangan saya yang berjaga harus siap menjawab dan datang ke ruangan).Â
Di balik muka asem nya itu, klimaksnya saat abang X ini memanggil di pukul 1 pagi. Oh ya, mungkin butuh ganti infus. Sampai di kamar, si pasien ini memang masuk kamar BPJS yang termasuk khusus, tempat tidur hanya dua dan saat itu yang satunya kosong. Oh ya, apa mungkin abang X ini takut?Â
Ternyata dia mengaku sakit perut, keram badan. Sebagai perawat tentu mengarahkan pasien untuk tenang. Saat itu di ruangan tak ada yang menjaga abang X ini, abang X hanya mengaku kesakitan, "aduhh, nyeri mas". Tiba-tiba....
"Mas, pegang ini saya aja" (meraba burungnya), mas itu top ya?. Suami saya langsung jawab: "ya allah, saya normal ka, gak minat saya". Trauma sekali rasanya, sampai dia bertanya ke saya, "emangnya tampang ku ini kaya gay apa?", sebagai pasangan sholehah ya tentu saya jawab TIDAK..
Perawat, sebuah profesi yang mulia. Bekerja sebagai perawat di rumah sakit membutuhkan banyak tenaga, pikiran dan tentu kesabaran. Akan tetapi, dibalik nama profesi ini, terdapat stereotip yang cukup terkenal bahkan sudah dibahas di beberapa artikel berbahasa Inggris.Â
Jika ditarik dalam sejarah, stereotip homoseksual atau gay sudah ada sejak era perang dunia, di mana mayoritas perawat saat itu dominan bergender perempuan.Â
Pembahasan gay sebenarnya dimulai dari stereotip yang diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang erat kaitannya dengan gender dan pekerjaan. Dalam artikel yang dirilis MDPI.com, ternyata stereotip perawat bukan saja sebagai "sang pembantu dokter", tapi juga menyinggung peran gender.Â
Gender di sini adalah penilaian masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang feminim sangat cocok menjadi perawat karena tugas-tugas perawat dianggap memiliki pola keterampilan yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan pada umumnya seperti dalam hal merawat pasien.Â
Ketika seorang pria yang dinilai maskulin menjadi seorang perawat, jelas menjadi sebuah hal yang tak lazim di mata beberapa orang, hal yang mencolok inilah yang menjadikan peran gender sangat besar dalam mewujudkan stereotip di kehidupan masyarakat.Â
Dengan demikian, pertanyaan muncul "apakah pria yang menjadi perawat itu memiliki orientasi yang menyimpang dibanding pria-pria dengan profesi lain seperti pelaut, tentara atau seorang petarung? Jika telaah, maka penderitaan perawat bukan saja menyerang perawat pria atau yang disebut bruder.Â
Perawat perempuan atau suster di zaman modern bahkan dijadikan objek seksualitas oleh masyarakat seiring masifnya akting perawat gadungan sexy di dalam suatu karya film maupun karya tulisan bergenre dewssa.Â
Seiring bertambahnya waktu, meningkatnya aspek kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan jelas memerlukan partisipasi perawat di dalamnya. Padahal bruder sudah sering ditemui di tiap-tiap fasilitas kesehatan karena tingginya kebutuhan tenaga kesehatan.Â
Contohnya di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistika (BPS) Tahun 2022, jumlah perawat di Indonesia mencapai 563.739 orang, dan perawat laki-laki mencapai 141 ribu orang, yaitu sepertiga dari jumlah perawat perempuan. Dilihat dari jumlah tersebut, seharusnya masyarakat tak lagi mendiskriminasi, bagaimana profesi tak lagi berkaitan dengan orientasi seksual.Â
Kendati demikian, dalam makalah National Institute of Health, para perawat pria atau bruder merupakan korban stigmatisasi di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka terhadap kaum-kaum yang dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat.Â
Pada penelitian di tahun 2004 saja, sebanyak 18 perawat yang diwawancara harus dapat menyembunyikan orientasi seksual terhadap pasien dan rekan sejawat. Bahkan untuk bruder yang dikategorikan heteroseksual, banyak dari mereka menggunakan strategi khusus agar tidak dianggap sebagai kaum homo, seperti menghindari kontak dengan rekan kerja gay dan mengekspresikan heteroseksualitas mereka secara terbuka. Hal tersebut juga memicu sentimen baru seperti anggapan bahwa perawat heteroseksual juga membenci kaum gay.Â
Dilihat dari kasus di awal tulisan ini, sebenarnya stereotip itu tumbuh di masyarakat sudah lama. Jika di telisik lagi terdapat isu feminisasi terhadap profesi perawat yang memungkinkan laki-laki dibatasi untuk menjadi perawat.Â
Bruder yang dikategorikan bekerja di rumah sakit kurang menampakan maskulinitas karena pekerjaan yang erat dengan pekerjaan perempuan pada umumnya seperti membersihkan pasien, menyuapi pasien, mengurus bayi dan anak-anak hingga akhirnya banyak manusia-manusia asal menilai manusia lain.Â
Jika dilihat, memang tak sedikit perawat pria yang terlalu "soft", gerak-geriknya tidak seperti pria dengan profesi lain tapi itulah fungsi kutipan "jangan menilai seseorang dari sampulnya aja".Â
Dalam artikel di MDPI, sebenarnya ada solusi biar stereotip perawat gay itu hilang, pertama tentu dimulai dari saat pendidikan keperawatan di sekolah atau Universitas, para pendidik harus menekankan bahwa gender itu tidak membatasi seseorang untuk dapat membangun karier. Ketika suatu profesi didominasi oleh satu gender, bukan berati gender lain memiliki nilai dan pola yang sama seperti stereotip gay yang kemayu (seperti perempuan).Â
Selanjutnya adalah peran media yang tidak lagi menjadikan perempuan sebagai objek yang erat dengan pekerjaan perawat. Bukan maksudnya melarang, tapi kenalkan profesi perawat laki-laki ke masyarakat.Â
Stereotip yang berkembang ini harus dihilangkan di masyarakat secara luas. Oleh karena itu, semoga apresiasi pekerjaan perawat dari pemerintah dan masyarakat dapat terjalin hingga tak lagi ada perawat yang dijadikan objek seksual, objek kebencian dan pelecehan khususnya di masyarakat serta menjadikan profesi perawat sebagai profesi yang tidak terkena bias gender.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H