Pembahasan gay sebenarnya dimulai dari stereotip yang diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang erat kaitannya dengan gender dan pekerjaan. Dalam artikel yang dirilis MDPI.com, ternyata stereotip perawat bukan saja sebagai "sang pembantu dokter", tapi juga menyinggung peran gender.Â
Gender di sini adalah penilaian masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang feminim sangat cocok menjadi perawat karena tugas-tugas perawat dianggap memiliki pola keterampilan yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan pada umumnya seperti dalam hal merawat pasien.Â
Ketika seorang pria yang dinilai maskulin menjadi seorang perawat, jelas menjadi sebuah hal yang tak lazim di mata beberapa orang, hal yang mencolok inilah yang menjadikan peran gender sangat besar dalam mewujudkan stereotip di kehidupan masyarakat.Â
Dengan demikian, pertanyaan muncul "apakah pria yang menjadi perawat itu memiliki orientasi yang menyimpang dibanding pria-pria dengan profesi lain seperti pelaut, tentara atau seorang petarung? Jika telaah, maka penderitaan perawat bukan saja menyerang perawat pria atau yang disebut bruder.Â
Perawat perempuan atau suster di zaman modern bahkan dijadikan objek seksualitas oleh masyarakat seiring masifnya akting perawat gadungan sexy di dalam suatu karya film maupun karya tulisan bergenre dewssa.Â
Seiring bertambahnya waktu, meningkatnya aspek kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan jelas memerlukan partisipasi perawat di dalamnya. Padahal bruder sudah sering ditemui di tiap-tiap fasilitas kesehatan karena tingginya kebutuhan tenaga kesehatan.Â
Contohnya di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistika (BPS) Tahun 2022, jumlah perawat di Indonesia mencapai 563.739 orang, dan perawat laki-laki mencapai 141 ribu orang, yaitu sepertiga dari jumlah perawat perempuan. Dilihat dari jumlah tersebut, seharusnya masyarakat tak lagi mendiskriminasi, bagaimana profesi tak lagi berkaitan dengan orientasi seksual.Â
Kendati demikian, dalam makalah National Institute of Health, para perawat pria atau bruder merupakan korban stigmatisasi di tengah perkembangan zaman yang semakin terbuka terhadap kaum-kaum yang dianggap menyimpang oleh sebagian masyarakat.Â
Pada penelitian di tahun 2004 saja, sebanyak 18 perawat yang diwawancara harus dapat menyembunyikan orientasi seksual terhadap pasien dan rekan sejawat. Bahkan untuk bruder yang dikategorikan heteroseksual, banyak dari mereka menggunakan strategi khusus agar tidak dianggap sebagai kaum homo, seperti menghindari kontak dengan rekan kerja gay dan mengekspresikan heteroseksualitas mereka secara terbuka. Hal tersebut juga memicu sentimen baru seperti anggapan bahwa perawat heteroseksual juga membenci kaum gay.Â
Dilihat dari kasus di awal tulisan ini, sebenarnya stereotip itu tumbuh di masyarakat sudah lama. Jika di telisik lagi terdapat isu feminisasi terhadap profesi perawat yang memungkinkan laki-laki dibatasi untuk menjadi perawat.Â
Bruder yang dikategorikan bekerja di rumah sakit kurang menampakan maskulinitas karena pekerjaan yang erat dengan pekerjaan perempuan pada umumnya seperti membersihkan pasien, menyuapi pasien, mengurus bayi dan anak-anak hingga akhirnya banyak manusia-manusia asal menilai manusia lain.Â