Bagi saya pribadi, sebagai mahasiswa yang pernah belajar bersama Ust. Helmi Hidayat di jurusan Jurnalistik UIN Jakarta, saya merasa sesi debat yang diadakan dalam segmen Catatan Demokrasi tersebut menghibur dan berhasil menciptakan kesan media yang "menunjukan nilai komersil" Terlihat jelas. Ketika nilai komersil suatu isu telah disodorkan kepada masyarakat, maka bersiaplah menjadi komoditas yang membuat ricuh. Komodifikasi?Â
Pengertian komodifikasi memang terikat dengan gagasan ekonomi. Jika dilihat dari benuknya, tayangan Catatan Demokrasi yang menghadirkan segmen debat antara Ust. Helmi Hidayat vs KH. Cholil dengan judul "Siapa kita menjustifikasi Al-Zaytun" Mengambil bentuk gagasan dan agensi secara utuh. Sebuah proses dan fraksi sosial ke dalam analisist struktural sebuah perusahaan media diperlihatkan dengan khas. Seperti yang diketahui, karakteristik TvOne yang sedari dulu aktif dalam kegiatan tarung pemilu menunjukan sebuah karakter khas kepada masyarakat.Â
Komodifikasi media dalam hal ini memiliki nilai penting yaitu berupa bukti kekuatan yang diberikan media pada perubahan sosial. Proses perubahan sosial yang dimaksud selayaknya usaha media memproduksi "pesan" Membentuk struktur jelas di dalam suatu medium penyiaran. TvOne jelas mencoba mempengaruhi publik untuk membentuk opini terhadap pesantren Al-Zaytun yang diduga sesat. Segmen tersebut membentuk polarisasi, Ust Helmi Hidayat dengan keberpihakan 'pro' dan KH. Cholil yang seakan 'kontra'. Penyampaian ust. Helmi Hidayat jelas menimbulkan kontra di kalangan masyarakat karena bagaimanapun, selama sesi debat berlangsung, jelas sekali TvOne menggabungkan dua orang dari latar yang berbeda walaupun mereka sama-sama Islam dan berpendidikan.Â
Aspek latar belakang antara Helmi Hidayat dengan KH. Cholil jelas jadi daya tarik, Helmi Hidayat jelas dari kalangan akademisi yang mungkin tidak semua orang paham arah bicaranya. Sedangkan, selama sesi tersebut, KH. Cholil jelas menerapkan komunikasi yang umum, walaupun disertai dalil-dalil agama yang segelintir saja yang paham betul. Acara jni berhasil mewujudkan nilai ciamik untuk rating, hasilnya ramai komentar pedas, sinis dan kejam dari para penonton. Tadinya, arah Al-Zaytun sesat justru sekarang UIN Jakarta dikatakan sesat, ya ampun!
Selama ini, saya selalu memperhatikan ketika bapak dosen Ust. Helmi berbicara dalam suatu media,baik di forum publik maupun bersifat privat. Point of view dari setiap penyampaian ust. Helmi memiliki amanah untuk berpikir kritis sebelum menjustifikasi. Ketika penyelidikan berlangsung, janganlah terdapat dugaan yang merambat tanpa ujung. Kasus Al-Zaytun memang wajib diselesaikan, tetapi pertanyaannya apakah pemerintah akan secepat itu menuntaskan? Apa lagi dengan pemberitaan yang beredar, bahwa pemerintah melindungi Al-Zaytun. Jelas KH. Cholil berupaya membuat opini kontra, bahwa justifikasi dibenarkan karena menyangkut aqidah. Justifikasi KH. Cholil jelas bahwa dugaan pemberitaan terkait Al-Zaytun benar adanya.Â
Kolom komentar video YouTube tersebut ramai, 1,3 juta orang menonton video tersebut. Hasilnya? Komentar yang tadinya menjustifikasi Al-Zaytun kini beralih ke UIN Jakarta, sebagai tempat mengajar ust. Helmi Hidayat. Mungkin, bila ada versi terbaru, TvOne bisa saja buat judul: "Siapa kita menjustifikasi UIN Jakarta sesat?".Â
Sebagai orang yang pernah mempelajari media dalam jurnalisme, hal ini terlihat rupawan jika hanya disebut acara komersil. Sejalan dengan pendapat bahwa pengamatan sebuah media dapat ditandai dari pengaruhnya  terhadap sebuah aspek ideologis dan politis, hal ini berujung kesimpulan bahwa ekonomi politik media massa menghasilkan media dalam keterpengaruhannya dengan nilai ekonomi.Â
Salah satu bentuk monopoli kapitalisme dan cara memahami nya dengan melihat secara politis dan ideologis dominasi kapitalisme secara ekonomis atas dunia penyiaran (Mufid,2010: 91). Selama ini TvOne gencar menghadirkan segmen acara debat yang jadi jajanan penonton, karena laku keras walaupun dari segi pemilihan tokoh terkadang timpang.Â
Hal ini juga seharusnya disadari oleh awam, bahwa suatu acara berisi agenda terselubung dari sang pemilik media itu sendiri. Kepemilikan media tidak dapat dipisahkan dari kepentingan ekonomi politiknya, misalnya TvOne dalam pemilu 2019, kemarin. Siapa orang-orang di belakang media ini?Â
Acara ini bukan saja mengingatkan kita pentingnya mengetahui isu, karakteristik tokoh dan kesadaran transparansi negara melainkan, kita juga harus belajar bahwa jangan terbawa agenda media yang menjadikan sebuah isu sebagai komoditi menguntungkan. Bisa saja dua orang yang berdebat sebenarnya adalah teman baik yang saling cepika-cepiki di belakang layar, sedangkan kita sibuk menjustifikasi satu sama lain: "kau sesat, kau kafir, kau sesat seperti Al-Zaytun".Â