Dua pekan ini, keadaan di bumi pertiwi mengalami banyak masalah baik internal dan eksternal. Bangsa Indoensia terbawa gelombang duka tak henti, tetapi tak menyurutkan semangat yang membara untuk bangkit perlahan. Pada akhirnya, kabar pembengkakan kasus Covid-19 tak terhindarkan.
Satu juta kasus terdapat di Indonesia, entah apa yang harus kita ekspresikan? Rasa sedih atau biasa saja? Sudah tidak bisa dibedakan. Masyarakat Indonesia yang berjuta-juta ini memang sudah biasa menelan duka, layaknya pada saat bencana melanda sekitar awal bulan-pertengahan Januari, 2021.
Banyak pula tokoh-tokoh agama yang wafat, bahkan ada yang berkesimpulan bahwa ini adalah tanda dari Tuhan, bumi sudah tua dan siap punah yang terparah adalah mengaitkan hal ini karena kabut politik yang makin runyam.
Lantas, mengapa masyarakat Indonesia terkesan ‘sabar’ dan ‘legowo’ Ketika bencana terbesar saat ini berhasil membuat masyarakat dunia terkejut bukan kepalang? Bayangkan, puncak tertinggi kasus Covid-19 berhasil didapatkan oleh Indonesia.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa ini hasil dari kinerja pemerintah yang tak kongkret, asal-asalan dan terkesan formalitas saja. Kalaupun bicara formalitas saja, mungkin berlaku ketika Covid-19 baru ditemukan di antara bulan Februari-Maret, 2020.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada saat itu dianggap sebagai kondisi darurat yang tak darurat, tentu semua ingat dengan kasus penimbunan masker dan hand-sanitizer? Belum lagi kasus persekusi para tenaga Kesehatan, penolakan jenazah dan berbuat rusuh di rumah sakit.
Apalagi, muncul Meme tentang ‘masuk angin’ yang jauh lebih ditakuti dibanding Corona. Luar biasa, masyarakat Indonesia ini bisa dibilang sangat santai pada saat itu namun paniknya sangat menjijikan.
Selanjutnya, pemerintah pusat yang pada saat itu sangat ‘telat’ memulai peraturan ketat terkait pemutusan mata rantai penularan mulai panik juga. Muncul Peraturan Pemerintah Pusat, Satgas Covid-19, dan aturan terkait bantuan sosial selama pandemi. Luar biasanya, para pakar saat itu sudah meramalkan angka tertinggi akan didapatkan oleh Indonesia di kemudian hari, ramalan dua kali kasus Covid-19 melanda, dan bencana nasional terkait ekonomi.
Respons penulis, akademisi, dan oposisi pemerintah juga berseliweran, tak sedikit yang memberikan saran kepada pemerintah pusat saat itu untuk meniru negara tetangga, seperti program pemerintah Wuhan, Singapura, dan Vietnam. Kembali lagi, masyarakat Indonesia yang sangat bermobilitas tinggi dan sangat santai membuat pilihan tersebut tak bisa dipilih.
Pemerintah pusat juga tak ingin mengambil risiko dengan menghentikan arus ekonomi, hasilnya sekarang, sekitar 4-5% ekonomi merosot namun berkat sifat konsumerisme masyarakat Indonesia, pemerintah tak deg-degan sedikit walau kepalang ribet dengan urusan lainnya. Sampai rasa ribet ini juga membebankan kementerian terkait, seperti Kementerian Kesehatan yang membuat presiden menegur dan Kementerian Sosial yang membuat rakyat menegur.
Pandemi ini memberikan kita satu pelajaran berharga, bahwa beberapa oknum pejabat dan penguasa tak berhenti bermain di air yang sedang menggenang. Selagi basah kenapa tidak menyelam sekalian? Itu budaya kita, mencari kesempatan dalam kesempitan, korupsi itu selalu ada walau dalam celah yang sempit. Entah apa yang membuat mereka tertutup hatinya, hingga menutup dirinya dari amanah yang dititipkan, ngeri!