Tadi siang saya mampir ke kedai kopi langganan untuk belajar bahasa Korea sambil menunggu anak pulang sekolah. Sebagai pelanggan tetap yang selalu disambut dengan senyum, sapaan selamat pagi/siang, dan menu favorit tanpa saya perlu jabarkan lagi, saya cukup hafal siapa saja pelanggan lain dan pada jam berapa saja mereka akan datang.
Kedai kopi buka pada pukul 7 pagi dan pada suatu waktu saya bisa nongkrong di sana selama 5-6 jam sambil belajar. Saya hafal rombongan pertama yang datang: mereka yang dalam perjalanan ke kantor dan terlalu mengantuk untuk mulai bekerja. Setelah itu ada rombongan kedua: para abang ojol yang menyampaikan pesanan dari orang-orang kantoran yang terkantuk-kantuk dan menunggu-nunggu kopi.Â
Rombongan terakhir adalah para ibu rumah tangga yang baru selesai makan siang bersama dan ngopi selama satu sampai dua jam sambil menunggu lonceng sekolah berbunyi. Rombongan terakhir inilah yang paling ribut dan paling tidak tahu basic manner and courtesy di tempat umum.
Saya pun ibu rumah tangga, saya pun pernah nongkrong di kafe bersama teman-teman saya, tapi saya anti menggosipkan orang lain dengan heboh di tempat umum. Obrolan ibu-ibu yang saya dengar setiap kali ke sana tidak jauh-jauh dari urusan kamar tidur orang lain. Mau pasutri lain damai, mau berantem, mau mereka kasih anak makan McD setiap hari atau cuma masakin sayur, mau ke sekolah naik mobil atau angkutan lain, apa urusan sampean?
Yang lebih bikin ilfil, semua pembicaraan itu dilakukan dengan suara sekeras TOA, nggak pake melayangkan pandangan ke sekeliling apakah orang lain akan terganggu atau tidak dengan volume suara atau jenis pembicaraan seperti itu. Mereka yang merasa gerah akan cepat mengambil jarak atau menarik kursi menjauhi rombongan yang suka kebangetan memonopoli semua kursi dan meja yang ada (termasuk mengkhususkan beberapa kursi untuk tas tangan mereka padahal ada banyak orang yang berdiri sambil menunggu pesanan mereka siap). Mereka yang merasa muak akan memasang earphone atau berbicara dengan volume jauh lebih keras untuk membatalkan semua kebisingan yang terpaksa didengar di kios seukuran 15 meter persegi saja itu.
AKIBAT KEBANYAKAN WAKTU LUANG
Saya selalu "menyalahkan" perilaku nyeleneh yang saya jumpai sehari-hari sebagai akibat dari ketidakcocokan antara jumlah waktu yang tersedia dan jumlah aktivitas untuk mengisi waktu yang ada tersebut, atau dengan kata lain 'kebanyakan waktu luang'. Sampai sekarang saya masih berharap suatu hari nanti entah kapan Pemerintah Indonesia akan menyediakan tempat penitipan dan pendidikan anak usia dini supaya para ibu setelah melahirkan bisa cepat kembali ke tempat kerja dan berkontribusi bagi masyarakat, dengan keyakinan anak-anak mereka berada di tangan yang kompeten.
Atau setidaknya pemerintah memerhatikan kebutuhan para ibu rumah tangga yang memiliki anak usia sekolah dan "tiba-tiba" memiliki me time yang nggak tahu harus dimanfaatkan seperti apa dan untuk apa. Jika pemerintah mengenali ada kebutuhan untuk aktivitas positif bagi ibu rumah tangga, maka pemerintah bisa merancang berbagai kegiatan yang bisa menghasilkan sesuatu secara ekonomi, tetapi tetap fleksibel sesuai dengan ketersediaan waktu dan prioritas lain si ibu.
Mereka yang hobi bergosip akan terus bergosip, saya tahu. Akan tetapi, jika ada aktivitas positif yang bisa mengalihkan perhatian para ibu yang memiliki kebanyakan waktu luang memperhatikan rumput tetangga yang pasti selalu lebih hijau kepada penguasaan keahlian dan keterampilan tertentu, mengapa tidak?
Ibu rumah tangga itu sangat lentur menghadapi berbagai tugas dan tantangan. Bayangkan, dia bisa merancang menu masakan sambil mengingat apakah tagihan air belum dibayar dan anaknya besok mendapat tugas membawa telur bebek ke sekolah. Ibu rumah tangga itu kurang fleksibel dan multitasking apa coba? Oleh karena itu, berikanlah kegiatan kepada ibu rumah tangga yang bisa membantunya mendapatkan:
1. Pengakuan dari orang lain (acknowledgement) selain dari keluarganya.
2. Perasaan berharga dan bermanfaat bagi orang lain (self-worthiness) di luar lingkungan rumahnya.