Kemarin malam saya mengobrol dengan seorang teman yang sedang mengalami apa yang saya alami tujuh tahun lalu. Kami berdua memiliki mama-mama yang berkepribadian kuat, tangguh, dan militan. Kami berdua sangat mengagumi dan memiliki ekspektasi tinggi terhadap mama-mama kami.
Sampai suatu hari mama-mama kami mengalami sakit dan dunia yang biasanya stabil-stabil saja ini bergoncang hebat.
Mama teman saya harus bedrest dan mulai mengalami depresi. Teman saya memiliki empat orang anak yang masih kecil, tanpa ARTdi rumah, menyelenggarakan homeschooling, dan harus merawat mamanya. Tentu berat, ya?
Saya jadi teringat tujuh tahun lalu. Setelah Mama saya mengalami serangan stroke, saya dan adik perempuan sama-sama mengandung anak ketiga selain memiliki dua orang anak yang masih balita. Kami menjalani hari-hari yang sulit, mengurus Mama supaya bagian kiri tubuhnya bisa digerakkan kembali, mengantar-menunggui-menjemput ke dan dari rumah sakit, belum lagi berhadapan dengan perubahan kepribadiannya yang sangat drastis.
Katanya, sisi terburuk seseorang bakal keluar ketika orang itu kaya, miskin, dan sakit. Mungkin bukan sisi terburuk ya, tapi sisi-sisi yang kita tidak pernah tahu dari diri seseorang, meskipun orang tersebut memiliki relasi sedekat saya dan Mama saya. Selama ini saya tidak tahu karena saya tidak peka dan Mama saya berusaha untuk tidak menunjukkan sisi lain (yang dia sendiri tidak sukai) dari kepribadiannya.
Ketidakmampuan bergerak dan kesulitan berbicara selama enam bulan membawa Mama saya ke jurang keputusasaan. Dari seorang dosen yang energik, selalu bergerak dan bersosialisasi, tiba-tiba Mama harus di rumah dan mengandalkan orang lain.
Kami anak-anaknya tidak pernah keberatan mengurus Mama, tapi Mama menyalahkan dirinya sendiri karena merepotkan kami. Pikiran-pikiran yang tidak terkendali semacam itu termanifestasi dalam bentuk kekesalan, bentakan, dan ketersinggungan yang kadang tidak masuk di akal.
Apakah saya dan dua adik saya menjalani hari-hari pemulihan Mama dengan mulus-mulus saja? Tentu tidak, Esmeralda, hidup nggak seru kalau nggak ada hambatan. Sering kali kami pun terpancing emosi dan ikut marah, apalagi ketika itu dua dari tiga orang bersaudara ini sedang mengandung dan menjalani Long Distance Marriage (LDM). Kurang menantang apa coba?
Akan tetapi, kondisi saya dan adik perempuan yang sudah berkeluarga selalu menjadi pengingat bagi kami untuk tulus merawat Mama. Seperti Mama merawat dan membesarkan kami, demikian pula kami harus merawat Mama sampai pulih, demikian pula kami memberi contoh kepada anak-anak kami bagaimana memperlakukan dan memelihara orang tua di masa senjanya.
Saya selalu ingat sebuah cerita rakyat di Cina tentang sebuah keluarga yang terdiri dari dua orang tua, seorang kakek, dan seorang cucu laki-laki yang masih kecil. Si kakek yang sudah sangat sepuh dan kemampuan motoriknya menurun selalu menjatuhkan gelas atau menyenggol piring sehingga sering memecahkan peralatan makan yang bagus. Anak dan menantunya yang tidak sabar pun mengganti semua peralatan makan beliau dari piring beling ke sembarang wadah dari kayu, sedangkan mereka masih menggunakan peralatan makan dari keramik.
Suatu hari saat makan malam si cucu dari si kakek tidak mau ikut makan. Dia malah duduk di lantai, sibuk mengukir kayu utuh sehingga berbentuk piring. Waktu orang tuanya bertanya mengapa dia membuat itu, jawab si anak adalah:
"Aku sedang mempersiapkan piring kayu untuk kalian pakai saat makan kalau sudah tua."
Kedua orang tuanya merasa tertohok dan kembali menyediakan peralatan makan yang layak untuk si kakek.