Hampir seminggu ini ada drama di Kompasiana. Ujungnya tidak usahlah saya sebut. Melelahkan. Yang pasti artikel demi artikel saling bersambut. Memang demikian jika berada di sebuah komunitas penulis; adu argumen dan bantahan tertuang di dalam tulisan-tulisan nan apik dan jujur.
Saya mengikuti drama ini belakangan setelah dibisiki oleh sepupu saya. Yang jelas drama ini membelah penghuni komunitas menjadi kubu-kubu. Sindiran pun tak elak dilontarkan, baik kepada sesama penulis maupun kepada admin dan editor Kompasiana. Kenapa admin dan editor Kompasiana kena getahnya? Tentu karena ada ketidakpuasan anggota komunitas yang telah tertimbun selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan akhirnya "meledak".
Oleh karena itu saya tak heran ketika login ke akun saya pagi ini dan dihadang oleh tampilan "Syarat dan Ketentuan" yang harus saya klik "Setuju" jika ingin melanjutkan ke laman saya. Saya baca sepintas saja dan saya sempat tergelak waktu membaca sebuah kalimat yang kurang lebih berisi: silakan tidak menggunakan platform ini jika tidak setuju (dengan syarat dan ketentuan yang berlaku).
"
Dua tahun lalu saya menulis artikel ini di Kompasiana. Waktu itu ada artikel yang berargumen bahwa makanan dan minuman yang dijual di bioskop itu kemahalan. Penulis artikel menyarankan supaya penjualan makanan dan minuman diserahkan juga ke pihak eksternal dan tidak menjadi monopoli pengelola bioskop. Tujuannya adalah supaya harganya menjadi lebih bersaing dan terjangkau.
Dengan susah payah saya merunutkan pemikiran saya bahwa pengelola bioskop berhak mengoperasikan apa pun di area yang dia sewa. Bahwa dia berhak menjual makanan dan minuman dengan standar harga tertentu menurut kalkulasi bisnisnya. Dan bahwa dia tidak pernah memaksa penonton untuk membeli dan mengonsumsi makanan dan minuman yang dijual.
Inti dari tulisan saya adalah mengenai kebebasan individu. Setiap individu bebas memilih mau menonton film dengan platform apa: mau streaming di HP-kah, mau menonton di bioskopkah, atau yang lainnya. Setiap individu juga bebas memilih mau ngemil atau tidak sambil menonton, itu semua pilihan. Tidak ada paksaan karena kita ini orang-orang merdeka yang hidup di negara merdeka.
Namun tak hanya itu, saya juga menulis tentang kedaulatan tuan rumah. Bioskop adalah sebuah "rumah" yang kita kunjungi dan kita adalah "tamu-tamunya". Sebagai tamu, adalah wajar dan lazim jika kita mengikuti aturan tuan rumah, termasuk jika kita harus membayar lebih mahal dari harga di luar bioskop untuk makanan dan minuman yang kita memang ingin konsumsi.
Ini yang ada di benak saya ketika menyaksikan drama yang bergulir di Kompasiana. Saya terus mengingatkan diri sendiri bahwa Kompasiana adalah sebuah rumah yang menerima banyak tamu, sebuah rumah yang punya kedaulatan atas aturan-aturan yang dia buat, dan sebagai tamu yang sopan kita menerima, menghargai, dan mematuhi aturan-aturan tersebut.
Ada penulis yang ngambek lalu hengkang dari Kompasiana. Ada juga yang berjanji tidak akan menulis lagi di platform ini. Ada yang mengeluh dicurangi sehingga tidak mendapatkan K-Rewards. Ada yang bertanya-tanya mengapa tulisannya selalu menjadi "Pilihan" tapi tidak pernah "Artikel Utama". Ada beragam opini dan pengalaman pribadi dengan satu benang merah: ketidakpuasan. Ada yang tidak puas dengan cara kerja di Kompasiana.