Akhir-akhir ini istilah 'kids jaman now' sedang trendi pemakaiannya di media sosial dan percakapan lisan sehari-hari. Di timeline FB saya malah muncul pemakaian istilah ini yang ditambahi dengan bahasa daerah di bagian belakang, contohnya:
- Kids jaman now, euy!
- Kids jaman now, c*k!
Adakah yang juga merasa terganggu dengan istilah ini seperti saya? Istilah ini menggabungkan kata-kata dari dua (sampai dengan tiga) bahasa yang sebenarnya bisa dijadikan dalam satu bahasa karena setiap kata memiliki terjemahan. Istilah ini bisa menjadi:
1) kids nowadays: sebuah frase yang umum dalam bahasa Inggris, dan kemungkinan besar inilah yang dimaksud oleh si pencipta istilah 'kids jaman now',
atau
2) anak jaman sekarang: sebuah istilah dengan makna yang jelas dan tidak asing lagi didengar dalam bahasa Indonesia
dengan bahasa daerah yang ditambahkan di bagian belakang istilah untuk menyatakan antusiasme si penutur.
Melihat istilah 'kids jaman now' di Hari Sumpah Pemuda, di mana para pemuda cikal bakal negara Indonesia yang didirikan pada tahun 1945 pernah bersumpah untuk mengakui satu tumpah darah, satu bangsa, dan menjungjung tinggi bahasa persatuan, sulit rasanya untuk tidak bertanya-tanya apakah bahasa Indonesia itu masih menjadi bahasa persatuan kita.
Di kota-kota besar di Pulau Jawa (dan di pulau-pulau lain), penggunaan bahasa Inggris sudah sama lumrahnya dengan bahasa Indonesia. Apa penandanya? Dari keberadaan berbagai macam iklan yang ada di ruang publik, mulai dari pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, bank, dan tempat-tempat lain. Sebagai contoh: kita bisa menemui istilah 'free registration fee' di iklan sekolah yang menawarkan pendaftaran tahun ajaran baru, 'get your booking number now'di iklan pengembang perumahan yang menjual rumah tipe terbaru, 'free parking with minimum purchase'Â di iklan pusat perbelanjaan untuk menarik kunjungan pembeli, dan lain sebagainya. Istilah dalam bahasa Inggris digabungkan begitu saja dengan bahasa Indonesia, tanpa sela dan tanpa pertimbangan apakah konsumen akan mengerti keseluruhan berita yang dituturkan dalam dua bahasa yang salah satunya mungkin tidak dia kuasai secara aktif.
Selain ruang publik kita yang dibombardir dengan bahasa Inggris, sejak sepuluh sampai dengan lima belas tahun terakhir sekolah yang menawarkan pengajaran dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) sangat menjamur dan diminati di kota-kota besar yang saya amati, antara lain: Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Saya pikir sekolah-sekolah bilingual seperti ini bertujuan baik; mereka ingin menyiapkan siswa supaya mampu berbahasa Inggris dan bisa beradaptasi dengan era globalisasi.Â
Kekurangan dari sistem bilingual dalam pendidikan di sekolah adalah terbentuknya siswa yang gamang dalam berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Inggris. Siswa sulit menggunakan bahasa Indonesia yang benar, dengan segala macam tata bahasa, imbuhan, dan lain-lain, seperti halnya generasi orang tua mereka; dan mereka juga sulit menggunakan bahasa Inggris di luar konteks yang dipaparkan pada mereka melalui pelajaran di sekolah, media sosial, dan hiburan seperti televisi, video games, dan internet.Â
Dengan kata lain, siswa akan mengalami kesulitan berbahasa Indonesia ataupun Inggris dalam konteks komunikasi resmi, bukan hanya dalam pergaulan sehari-hari. Kegamangan berbahasa ini menyebabkan banyak generasi muda yang mencampur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris saat bertutur, karena mereka tidak memiliki kosa kata yang memadai dalam kedua bahasa tersebut.