Era tahun 70-80an Sumatera Utara,khususnya Medan dikenal sebagai salah satu basis pemain terbaik sepakbola Indonesia. Untuk perserikatan dikenal PSMS Medan sebagai salah satu lub juara. Untuk semi professional ada Pardedetex dan Mercu Buana. Pardedetex dimiliki oleh pengusaha T.D Pardede sementara Mercu Buana dimiliki oleh pengusaha Probosutejo. Beberapa pemain nasional yang saat itu berasal dari Medan antara lain, Nobon, Taufik Lubis, Parlin Siagian, Badiaraja Manurung, Zulham Effendi, Zulkarnaen Lubis, Ponirin Meka, Jamaludin Hutauruk,dll. Selain memiliki segudang pemain nasional, Medan juga memiliki turnamen sepakbola bertaraf internasional yang saat itu belum ada di daerah lain di Indonesia termasuk Jakarta, yaitu piala Marah Halim Cup. Marah Halim Cup biasamya diadakan setiap tahun dengan mengundang tim-tim kuat dalam negeri dan luar negeri. Piala turnamen ini diadakan mantan Gubernur Sumut,Marah Halim Harahap, dengan motor penggerak tokoh bola nasional dari Medan, Kamaruddin Panggabean. Tahun 1980, turnamen ini diikuti antara lain oleh Burma (Myanmar sekarang), Korea Selatan, Belanda, PSMS Medan,Luxembourg,dll. Pemain Belanda yang ikut saat itu,antara lain Ruud Kroll, sementara pemain Korea Selatan antara lain Huh Jung Moo, yang sekarang menjadi pelatih tim nasional Korea Selatan. Bertolak belakang dengan kondisi tahun 80-an, saat ini Sumut,khususnya Medan tidak dipandang lagi sebagai parameter kekuatan bola tanah air. Setelah bubarnya Pardedetex dan Mercu Buana, praktis Sumut hanya diwakili PSMS Medan di kancah sepakbola nasional. Tragisnya, sebagai mantan juara perserikatan 1985, PSMS Medan pun kini tidak termasuk dalam peserta Super Leage Indonesia 2009-2010.. Sekarang yang tampil justru klub-klub yang dulu tidak terdeteksi oleh radar persepakbolaan nasional,misalnya Persiwa Wamena, Persela Lamongan,PSPS Pekanbaru,dll.. Padahal di Sumatera Utara juga terdapat kesebelasan setiap kabupaten, misalnya PSKB Binjai, PSDS Deli Serdang, Pesitas Tapanuli Selatan,dll. Namun hingga sekarang klub-klub tersebut tidak pernah muncul ke permukaaan sepakbola nasional. Untuk mengatasi ketertinggalan persepakbolaan Sumatera Utara di kancah nasional, ada beberapa hal yang mesti dikerjakan oleh pemda maupun penggiat bola di sana. Pertama, menghidupkan kembali kompetisi klub-klub lokal. PSMS Medan misalnya dahulu merupakan liga klub-klub lokal seperti Tirtanadi, Medan Utara,dll. Dari sinilah muncul- pemain-pemain yang kemudian menjadi bintang nasional seperti disebutkan di awal. Dengan adanya kompetisi yang teratur maka akan selalu muncul talenta-talenta muda berbakat yang siap meneruskan kejayaan persepakbolan di sana. Berbeda dengan yang terjadi saat ini, PSMS misalnya malah merekrut pemain asing yang ternyata belum tentu mampu membawa kemajuan klub. Kedua, pemda harus memberi perhatian untuk membangun stadion yang lebih baik berikut prasarana yang dibutuhkan sepakbola modern, seperti alat fitness ,dll. Di masa lalu, pemain bola PSMS umumnya lahir dari anak-anak perkebunan dengan memanfaatkan lapangan yang ada di perkebunan tersebut. Adanya lapangan perkebunan yang terdapat di PTP yang banyak terdapat di sana memang sudah banyak membantu di tengah sulitnya mencari lapangan untuk bermain bola saat ini. Namun untuk kebutuhan ke depan, perlu perbaikan kualitas lapangan dan stadion yang lebih baik. Di medan sendiri dari dulu hingga saat ini hanya ada Stadion Teladan dan Stadion Kebun Bunga, markas PSMS. Namun sejauhmana kondisi lapangan tersebut mampu memenuhi persyaratan lapangan nasional dan internasional perlu dievaluasi lagi. Ketiga, perlu diadakan liga junior antar kabupaten. Wilayah Sumatera Utara yang begitu luas dan jumlah penduduk usia muda yang begitu banyak memiliki potensi yang besar dalam persepakbolaan. Namun diperlukan kompetisi teratur secara berjenjang dari usia muda sehingga bakat mereka terasah dengan baik. Pengurus sebaiknya menetapkan standarisasi kualitas pemain sesuai jenjang usia sebagai tolak ukur mereka dapat melanjutkan karir ke level usia selanjutnya. Tahun 1980, PSMS Junior menjuarai Piala Suratin dan melahirkan pemain-pemain yang kelak menjadi pemain nasional seperti Ricky Yakob dan penjaga gawang Edy Harto yang dilatih Edy Simon. Untuk mampu membentuk pemain muda yang berkalitas, sebaiknya pengurus mengontrak pelatih asing yang bertindak sebagai konsultan untuk merancang standarisasi kompetensi yang harus dikuasai pemain untuk setiap tigkatan usia. Sepakbola modern yang kita lihat saat ini memerlukan kualitas teknik dan fisik yang sempurna. Pencapaian ke arah itu hanya bisa dicapai dengan menerapkan standar kemampuan pemain, misalnya dalam hal endurance maupun speed untuk setiap level. Manager Arsenal Arsene Wenger menetapkan standar kemampuan sprint untuk jarak tertentu yang harus dimiliki pemainnya dengan asumsi dalam jarak tersebutlah pemain sering harus beradu cepat merebut bola. Untuk mengembalikan pamor Sumatera Utara dalam peta persepkbolaan nasional maupun internasioional, disarankan pemda dan pengurus sepakbola di sana untuk menghidupkan kembali turnamen internasional yang pernah ada seperti marah Halim Cup. Penyelenggaran turnamen internasional secara teratur akan mengangkat gairah bermain bola di kalangan masyarakat di seluruh pelosok. Meski turnamen ini diadakan di Medan namun beritanya menyebar ke seluruh pelosok daerah. Selain turnamen, pemda dan pengurus bola harus menjalankan kompetisi yang berjalan regular sepanjang tahun. Kompetisi seperti inilah yang sesungguhnya membentuk dan mempertajam keahlian pemain secara drastis. Kompetisi ini akan lebih berkualitas bila didukung lapangan atau stadion yang juga memiliki kualitas yang sepadan. Semoga persepakbolaan Sumatera Utara kembali berkibar dan berjaya di jagad bola nasional bahkan internasional. Horas!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H