Akhir-akhir ini kita banyak diributkan oleh tetek-bengek persoalan yang mencabik-cabik kita, kita lupa yang paling fundamental, yakni perut. Ingatlah jika dalam perut itu ada kelaparan, ya mudah marah, jika amarah dari perut itu meledak, negara ini sungguh dalam keadaan bahaya (Sindhunata, Basis: Maret, 2008).
Saat di negeri lain massa tertindas secara padu bergolak tergerak, di tempat saya hanya gunjing caci maki gagalnya penguasa terpilih. Semua mafioso kembali bekerja. Yang jadi pejabat ribut sedot anggaran. Yang kelas menengah mikir rutin ke kantor. Orang kecil sibuk cari utangan.
Di sini banyak sekali analis politik yang lahir dari gemar baca tulis di sekolah. Mereka pandai menulis dan bicara. "tolak kapitalisasi segala sektor!" atau "Revolusi dan perubahan!". Inilah tugas politisi negeri ini, belajar teori. Selama mulut bisa ngomong lantang dan berbusa-busa, udah top dah....
"Gejolak perlawanan muncul sebagai ekspresi bagi kondisi yang dirasa menindas" teori gerakan sosial bilang seperti itu. Benarkah? Faktanya, masyarakat ini terlalu toleran pada kemiskinan yang lebih banyak sementara 1 persen menguasai kekayaan terbanyak dan penipuan di media massa terus dipercaya. Parahnya si tukang palak, di biarkan hidup sebagai lintah darat atau para mafia di kantong-kantong institusi resmi dibiarkan mengakuisisi dana publik bagi kepentingannya.
Lama-lama memang kita harus jengah terhadap kondisi sosial bernegara dimana orang per orang memikirkan perut dan kepentingan sendiri. Kesalahannya bukan pada orang tapi sistem katanya. Struktur dan sistem yang dibangun dalam alam modal besar, demokratis dan liberal ini, mengandaikan kompetisi yang strong yang get all. Entah kenapa, masih kita berceloteh kalau sistem yang jelas memarjinalkan mayoritas ini, kalau percuma mengharapkan perubahan ekonomi politik dari rezim rente, kenapa tidak kita ganti sistem ini dengan sosialisme atau MUTUALISME. Mengembik saja pada rezim yang jelas melanjutkan omong kosong pembangunan (developmentalisme) orde baru untuk pengayaan segelintir.
Pemikiran kita sudah sampai pada ketidakpercayaan sistem dan solusinya merubah kapitalisme menjadi sosialisme. Kalau masih tertipu dengan kasus di televisi dan isu mass media, aktivis dan pegiat sosial mau berharap apa selain sakit hati. Tidak ada harapan kritik, mediasi dan kompromi selama masih dalam zona sistem dimana pemilik modal membayar gaji pegawai tidak layak dan terus menambah kekayaan. Sadarlah orang-orang, selama kita masih percaya janji hanya keluhan yang keluar bukan gerakan.
Betullah Marx yang menginspirasi Nasakom pendiri negeri bahwa pasca feodalisme ini masanya kapitalisme. Kapitalisme dengan gedung dan bangunan swasta atau negara sementara kami terbiasa dididik untuk menjaga dan melestarikan modal. "Buruh yang dibayar tak pantas" kata Widji Thukul.
Kaum proletariat, marhaenis, wong cilik apakah kita takdzimi para pencuci otak yang menyebabkan kesadaran palsu itu untuk, "Jangan mengeluh dan nrimo saja sama keadaan. Tidak baik maido apalagi sama negara yang telah dengan susah payah didirikan bersama?"
Jawabannya tentu tidak, sebab mereka yang secara kesejarahan kita daulat untuk menjadi pemimpin itu kini, justru lupa dan menyusahkan si pemegang daulat, dengan biaya kesehatan yang mahal, sekolah yang dipungut, pajak yang mahal, dan menjual aset kepada asing!
Saya kira saya sendiri hanya tukang keluh kepada struktur/ (institusi atau keadaan di luar diri) kalau begini. Ocehan ini umpatan saja dan jauh dari solusi. Makanya mari beraksi!