Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih kita kenal sebagai Buya Hamka adalah seorang ulama, tokoh masyarakat, dan sastrawan Indonesia. Buya Hamka merupakan tokoh yang tidak asing bagi orang Minang maupun masyarakat Indonesia. Buya Hamka selain menjadi ulama, beliau juga aktif dalam menulis karya, salah satunya novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang pertama kali terbit pada tahun 1938.
Bagi sebagian orang akan menganggap novel ini adalah novel percintaan, tetapi di dalam novel ini tidak hanya percintaan saja, tetapi di dalamnya Buya Hamka juga memasukkan unsur agama dan adat yang dapat juga memberikan pelajaran. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah tragedi cinta yang disebabkan oleh perbedaan status sosial.
Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Buya Hamka mengambil tema cinta yang terhalang adat. Mengisahkan dua orang anak muda yang berbeda latar belakang, yaitu Zainuddin yang merupakan anak yatim piatu hasil pernikahan antara Minang dan Makassar yang menjadikan Zainuddin tidak Minang tulen. Berbanding terbalik dengan Hayati yang merupakan perempuan Minang asli dan dari keluarga cukup terpandang. Pada novel ini diceritakan latar tempatnya adalah Sumatra Barat pada awal abad ke-20 yang pada saat itu bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia atau dahulu disebut bahasa Melayu.
Cinta terhalang adat merupakan tema yang umum dalam karya sastra. Tema ini menggambarkan konflik antar cinta dengan norma adat. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, konflik ini digambarkan dengan sangat kuat. Tokoh Zainuddin dan Hayati adalah dua orang yang saling mencintai dengan tulus. Namun, tidak dapat bersatu karena persyaratan adat. Hamka mengambarkan dengan baik bagaimana adat di Minangkabau menjadi kekuatan dalam novel ini. Dalam novel ini, dijelaskan adat istiadat Minangkabau sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Bagi yang melanggar akan mendapatkan hukuman secara adat maupun sosial.
Adat istiadat Minangkabau menjadi salah satu faktor utama penyebab cinta Zainuddin dan Hayati tidak dapat bersatu. Zainuddin dianggap orang asing karena ia bukan berasal dari keluarga terpandang yang membuat keluarga maupun orang sekitar tidak menerima lamarannya kepada Hayati. Selain itu, adat mengharuskan Hayati menikah dengan laki-laki yang berasal dari keluarga yang sepadan bernama Aziz. Setelah Hayati menikah dengan laki-laki pilihan kelurganya, pernikahannya tidak berjalan dengan baik. Aziz selama menjalani pernikahan banyak sifat buruknya yang membuat Hayati menderita, seperti Aziz suka berkata kasar dan suka menggoda gadis Belanda padahal sudah menikah. Selain itu, keputusan Aziz menikahi Hayati juga makin membuat Hayati menderita, dia harus hidup bersama orang yang tidak ia cintai.
Zainuddin setelah mengetahui lamarannya ditolak dan perempuan yang dicintainya menerima lamaran pria yang lebih kaya, ia merasa dikhianati dan merasa tidak dihargai. “Sepagi itu Zainuddin tak dapat keluar lagi dari kamarnya, dia demam. Kian lama kian paksa. Yang duduk di kiri-kanannya hanyalah Muluk dan ibunya. Makan dia tak mau, air seteguk punsukar melakukan, sebab dia tak ingat akan dirinya". Zainuddin yang telah di tolak oleh keluarga Hayati membuat dia merasakan patah hati yang mendalam. Zainuddin yang sudah tidak semangat hidup mendapatkan motivasi yang membuat Zainuddin kembali punya semangat umtuk membuktikan kepada Hayati maupun keluarganya. Bang Muluk mengatakan, “Heeeh.. Berhentilah bersedih begini, Engku. Terjadi sudahlah terjadi” bahwa tidak ada gunanya bersedih, yang terjadi tidak dapat diubah.
Tokoh Zainuddin memutuskan berangkat ke Batavia untuk mengubah nasib dan membuktikan kepada keluarga Hayati bahwa dia bisa sukses. Bersama bang Muluk, Zainuddin memulai karirnya di Batavia sebagai penulis di suatu perusahaan. Setelah sukses di Batavia, Zainuddin bersama bang Muluk ingin punya suatu perusahaan sendiri di kota agar tidak bekerja di bawah orang mulu. Zainuddin berencana ingin ke kota Surabaya di mana itu dekat dengan Makassar dan belum banyak penulis di sana.
Zainuddin setelah memutuskan membuka perusahaan di Surabaya, bisa dibilang berhasil karena tulisannya banyak diterbitkan dan orang makin mengenalnya. Zainuddin yang awalnya pria miskin sekarang berubah menjadi pria kaya raya dan memiliki rumah yang besar. Hayati dan Aziz ternyata juga sedang ada di Surabaya untuk menghadiri acara klub anak Sumatera, secara tidak sengaja bertemu dengan Zainuddin yang sudah berbeda.
Aziz yang tidak tau kemana lagi berencana ingin ke rumah Zainuddin untuk menumpang sebentar sampai dia dapat pekerjaan lagi. Sesampainya di rumah zainudddin mereka berdua diterima oleh Zainuddin dengan baik, setelah semingguan di rumah, Aziz jatuh sakit. Selama sakitnya dia dirawat oleh Hayati dengan sepenuh hati. Sudah hampir sebulan Aziz dan Hayati menumpang di rumah Zainuddin, tiba-tiba Aziz berbicara dengan Zainuddin di depan Hayati "Budi baik saudara kepada saya sudah terlalu besar, dha'if benar diri saya sekarang, tak ada balasan dari saya hanyalah memohon kepada Tuhan, moga-moga jasasaudara itu terlukis pada sisinya.”. Dengan kerendahan hatinya Zainuddin menjawab “Itu bukan jasa, itu hanya kewajiban seorang sahabat kepada sahabatnya. Apalagi kita hidup dirantau pula," kata Zainuddin, "kita wajib membela antara satu sama lain.”
Aziz merasa malu sudah terlalu lama menumpang di rumahnya Zainuddin, dia berencana ingin mencari kerja keluar kota Surabaya. Aziz mengatakan kepada Zainuddin untuk mengizinkan Hayati tinggal di rumahnya dahulu sampai Aziz mendapatkan pekerjaan, barulah dia menjemput Hayati kembali. Mendengar perkataan, Aziz Zainuddin menahannya agar tidak jadi berangkat “Saya tidak keberatan isteri saudara tinggal di sini. Cuma yang saya ragukan, kalau-kalau kesehatan saudara belum kembali.”
Zainuddin yang kembali ragu dengan perasaannya karena cinta abadinya satu rumah bersama dirinya. “Telah hampir genap cita-citanya, tinggal dalam sebuah rumah yang sederhana, cukup perkakas, cukup kekayaan, temama, termasyhur. Hanya satu saja kekurangannya, ibarat alam yang kekurangan matahari, itulah nasibnya yang kekurangan Hayati.” Setelah sekian lama perginya Aziz, Zainuddin mendapatkan surat ternyata dari Aziz yang berisi “Saya kembalikan Hayati ke tangan saudara, karena memang saudaralah yang lebih berhak atas dirinya. Hampir dua tahun kami bergaul, ternyata pagaulan kami tidak cocok, karena dia saya dapat dengan jalan tipuan, meskipun berkulit nikah kawin. Akan lebih beruntung saudara mendapat dia, sebab dia seorang perempuan yang amat tinggi budinya. Dan dia pun akan lebih puas berokh suami yang cocok dengan aliran jiwanya adapun saya sendiri telah menetapkan ponis atas diri saya.” Setelah membaca surat tersebut, tak lama Zainuddin dan Hayati mendapatkan kabar bahwa Aziz mengakhiri nyawanya di salah satu hotel.