Mohon tunggu...
Rihad Wiranto
Rihad Wiranto Mohon Tunggu... Penulis - Saya penulis buku dan penulis konten media online dan cetak, youtuber, dan bisnis online.

Saat ini menjadi penulis buku dan konten media baik online maupun cetak. Berpengalaman sebagai wartawan di beberapa media seperti Warta Ekonomi, Tempo, Gatra, Jurnal Nasional, dan Cek and Ricek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pola Pikir Kita Dipengaruhi Algoritma Platform Asing, Bagaimana Kita Menyikapi?

15 Februari 2023   08:08 Diperbarui: 15 Februari 2023   08:18 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari-hari kita menggunakan google atau platform mesin pencari lain untuk mencari informasi. Kadang kita juga mendapatkan informasi dari platform medsos yang juga buatan asing seperti facebook, tiktok, youtube dan sebagainya.

Informasi yang kita dapatkan akan menjadi landasan kita dalam mengambil keputusan. Masalahnya apakah informasi yang kita dapatkan selalu akurat?

Pada acara grand launching pemimpin redaksi Promedia yang berlangsung 14 Februari 2023, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengeluhkan tentang informasi yang tidak akurat atau berlebihan dalam memberitakan bencana atau kondisi alam.

Sandiaga menyatakan pada lebaran 2023, banyak sekali wisatawan batal melaksanakan piknik karena santernya berita tentang ancaman hujan lebat dan angin  kencang yang menimpa Indonesia pada saat lebaran.

Padahal yang terjadi adalah adanya gangguan hujan hanya di kawasan Pantura, tetapi wisatawan di luar pulau Jawa juga merasa tidak nyaman bepergian akibat informasi yang masif tentang cuaca buruk itu.

Demikian juga beberapa tahun lalu ada bencana gunung Agung meletus di Bali, beritanya begitu santer hingga mempengaruhi wisatawan yang akhirnya membatalkan datang ke Bali. Wisatawan masih takut ke Bali bahkan setelah beberapa bulan dari peristiwa letusan gunung Agung.

Kita bandingkan dengan bagaimana wartawan Turki menyiarkan gempa yang selalu menjelaskan lokasi gempa jauh dari ibukota. Artinya wisatawan bisa tetap ke Turki, karena banyak lokasi yang sangat aman untuk dikunjungi.

Dalam banyak hal, masyarakat Indonesia, khususnya wartawan, terlalu lugu saat membuat berita. Ingin memberitakam sebuah peristiwa sebanyak mungkin tapi melupakan dampaknya.

Yang saya maksud adalah dampaknya bagi Indonesia Tanah Air yang kita tempati ini.

Mengutip Agus Sudibyo dari Dewan Pers, platform seperti facebook dan google sudah mulai kesulitan mengendalikan mesin yang mereka buat sendiri.  Algoritma mesin pencari kadang tidak bisa mendeteksi berita baik dan buruk bagi pembacanya. Pemasangan iklan salah sasaran dan banyak pengguna jadi kecewa.

Algoritma sendiri diharapkan bisa menghubungkan informasi satu dengan lainnya agar relevan dengan pembacanya. Arah algoritma  pada akhirnya sangat tergantung dari informasi apa yang kita masukan ke dalam platform mesin pencari.

Wartawan di zaman internet harus sadar bahwa apa yang kita tulis akan masuk platform dan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh mesin pencari. Mudahnya jika kita membuat berita yang terus-menerus menjelekkan Indonesia, maka Indonesia akan jelek di mesin pencari.

Inilah pentingnya wartawan untuk melihat kepentingan bangsa Indonesia sebagai landasan dalam menulis. Harus diingat kita berbeda kepentingan tentang  isu kelapa sawit dengan Uni Eropa. Kita juga punya kepentingan yang berbeda dengan media asing perihal konflik Papua. Bagaimana kita, wartawan menyikapi hal ini? 

Wartawan Indonesia harus melihat kepentingan Indonesia di atas segalanya. Ketika kita menyerap informasi dari asing tentang Indonesia, wartawan harus waspada siapa yang berkepentingan? Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?

Mudah diucapkan tapi kadang sulit diterapkan. Dalam dunia nyata,  kampanye sebuah isu merupakan pertarungan sengit yang mengerahkan banyak dana, termasuk untuk "membeli" media.

Dalam situasi hidup sulit, kesejahteraan wartawan yang relatif buruk, sedikit uang untuk "upah meng-upload" berita adalah dana  sangat berarti buat sebagian besar orang.

Dalam hal ini wartawan tidak bisa berjuang sendiri untuk mengangkat nama baik Indonesia. Di sinilah diperlukan sebuah ekosistem yang saling mendukung satu sama lain. 

Dewan Pers, Kementerian, tidak bisa menyuruh wartawan melakukan good journalism sendirian. Basic dari profesi wartawan seperti profesi lainnya adalah bagian dari mencari penghasilan selain idealisme. 

Komunitas wartawan yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia, merupakan bagian utuh dari bangsa ini. Mereka ingin berjuang demi Indonesia sekaligus mendapatkan share yang adil atas keberhasilan pembangunan yang sedang berlangsung. Ini sebenarnya bukan hanya untuk wartawan, keberhasilan pembangunan harus dirasakan manfaat oleh profesi apapun di Indonesia.

Jadi kembali kepada tugas kita untuk mengangkat nama baik Indonesia di dunia maya, kolaborasi adalah kunci dari seluruh komponen bangsa. Saling mendukung satu sama lain.  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun