Kasus yang paling hangat adalah terkait berita tenggelamnya putra Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril, di sungai Aare di Swiss. Ketika masih dalam proses pencarian, ada saja kanal youtube yang membuat berita jasad Eril sudah ditemukan.Â
Redaktur media massa sudah tahu bahwa info itu bohong. Tapi mereka justru ikut numpang tenar di berita viral yang dibuat orang lain. Logikanya mudah, kalau ada berita viral artinya banyak pembacanya. Mereka berkepentingan mencari jawaban berita tersebut benar atau tidak. Jika media kita turut membahasnya maka peluang untuk dibaca lebih besar.
Di satu sisi, cara ini akan membantu masyarakat untuk mendapatkan berita yang benar. Tapi apakah harus mengikutsertakan identitas pembuat hoaks dalam pemberitaan?Â
Menurut saya perlu ada ikhtiar serius agar ruang gerak para pembuat hoax dipersempit. Caranya dengan menutup akses mereka ke media. Setiap pemilik media harus menutup ruang para pembuat hoaks.
Saat membatah berita hoaks, identitas pembuat hoaks seharusnya tak perlu diangkat.Â
Ini perlu kerjasama menyeluruh, bagaimana caranya agar pembuat hoaks tidak memiliki akses ke media mainstream. Ruang gerak mereka di medsos juga harus dibatasi. Pemilik teknologi medsos seharusnya bisa menghukum para pembuat hoaks dengan membatasi ruang mereka.
Kembali kepada peran media massa, perlu dipertimbangkan baik-baik tentang bagaimana seharusnya berita hoaks dikelola. Saya mengusulkan dari langkah pertama, jangan kasih kesempatan pembuat hoax menumpang tenar di media kita.****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI