Kenyataannya, orangtua mau berkorban uang banyak semua meningkatkan kualitas anak. Lihat saja, mereka mengirim anaknya ke lembaga pendidikan di luar sekolah seperti les musik, les komputer, les bahasa asing, les matematika, dan sebagainya. Sekolah menjadi tempat untuk mencari ijazah, sementara keterampilan dan pengetahuan banyak diasah di tempat kursus.
Mengkampanyekan sekolah gratis bisa menyesatkan karena seharusnya dibarengi dengan dukungan dana sepenuhnya dari negara. Faktanya anggaran yang ada belum bisa menghasilkan kualitas tinggi. Apalagi masih banyak pemerintah daerah yang belum menganggarkan 20 persen APBD untuk pendidikan.
Di sisi lain, orangtua bersedia mengeluarkan dana untuk bimbingan belajar. Ada kecenderungan orangtua tidak puas dengan kualitas pembelajaran di kelas sehingga masih mengandalkan bimbel. Kita tahu betapa mahalnya bimbel, tapi mereka mau membayar.Â
Artinya, ada kesadaran penuh dari orangtua bahwa membayar sekolah itu tidak masalah asal kualitasnya sebanding. Sekolah gratis seharusnya ditujukan kepada orang yang benar-benar tidak mampu saja. Orang kaya tak perlu gratis, bahkan mereka seharusnya ikut andil dalam peningkatan pendidikan di sekolah.Â
Contoh nyata di sekolah swasta tertentu, orangtua mau membayar mahal.Â
Saat ini sedang digencarkan program ekstrakurikuler di sekolah negeri. Tapi sarana dan prasarana terbilang mahal dan tidak bisa mengandalkan APBN. Alat olahraga, alat musik, komputer, lab bahasa dana sebagainya bukan fasilitas murah.
Sekolah yang maju umumnya terjadi karena kemampuan dan keberanian kepala sekolah untuk menjalin kerjasama orangtua untuk memenuhi sarana dan prasarana. Kuncinya ada pada "trust" atau kepercayaan orangtua kepada sekolah. Beberapa kepala sekolah berprestasi tingkat nasional mampu menjalin kerjasama dengan sumber pendanaan baik dari orangtua (komite sekolah) maupun dari perusahaan sekitar melalui kemitraan.
Pola seperti ini bisa diterapkan sekolah di seluruh Indonesia. Syaratnya ada panduan yang jelas agar kepala sekolah dan orang tua bisa melaksanakan dengan tenang. Akan ada risiko kesalahan di lapangan akibat pemahaman yang kurang terhadap peraturan. Pada aspek ini, seharusnya jangan langsung dibawa ke ranah hukum. Hukuman di dunia pendidikan tidak harus ke polisi.Â
Seharusnya, buat patokan sederhana saja. Mereka yang dihukum adalah pencuri uang masyarakat untuk kepentingan sendiri. Sedangkan oknum yang kedapatan mengambil dana publik baru pertama kali, lebih baik disuruh mengembalikan saja dengan catatan negatif bagi pihak yang mencuri. Mungkin ditambah hukuman minta maaf di depan umum (orangtua dan guru).
Hukuman lainnya dalam bentuk pengurangan gaji atau penundaan kenaikan pangkat. Kalau sudah dua kali melakukan hal yang sama, dia harus dipecat. Selesai urusan.
Dengan demikian muncul trust orangtua kepada sekolah. Saya menilai ruang tahanan polisi dan penjara bukan satu-satunya tempat untuk menghukum insan pendidikan.Â