Pemilihan Nadiem Makarim, pendiri Gojek, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menimbulkan pertanyaan. Apakah Nadiem yang baru 35 tahun, pantas menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? Sementara yang akan dipimpinnya  adalah sederet profesor dan doktor. Umumnya,  Menteri Pendidikan berasal dari kalangan pendidikan atau akademisi. Tap Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat gebrakan, sebuah taruhan  sangat besar, karena pendidikan adalah pondasi mendasar kualitas sumberdaya manusia. Indonesia akan seperti apa di masa datang sangat tergantung wajah pendidikan saat ini.
Jokowi sendiri sudah berkali-kali mengatakan dunia pendidikan harus siap menghadapi teknologi di era industri 4.0. Teknologi harus dikenalkan sejak dini karena bisa menjadi bekal menghadapi tantangan zaman di masa mendatang. Ada keinginan Jokowi untuk meramu teknologi dengan pendidikan. Jadi, pemilihan Nadiem yang telah mencipta aplikasi Gojek ini merupakan pilihan yang dianggap tepat oleh Jokowi.Â
Terlintas sebuah pertanyaan, apakah Nadiem akan bisa mengalahkan segudang masalah yang ada di dunia pendidikan dengan pengalamannya di bidang teknologi? Latar belakang Nadiem sendiri beragam tapi tak pernah bersentuhan dengan dunia pendidikan. Ia mendapat gelar S1 pada  Hubungan Internasional di Brown University, Amerika Serikat.  Lalu, gelar pasca sarjana Master of Business Administration diperoleh dari Harvard Business School. Praktis tidak ada latar belakang keilmuan di fakultas pendidikan. Sebelum mendirikan Gojek, Nadiem banyak berkecimpung di bisnis.
Melihat pengalamannya di bidang bisnis dan teknologi, Nadiem akan menghadapi tantangan baru yang begitu besar di dunia pendidikan. Karena itu, tidak akan mungkin semua masalah pendidikan ditangani Nadiem sendirian. Saya kira, Nadiem perlu fokus menangani pekerjaan sesuai kekuatannya, yakni aspek manajemen, dan teknologi informasi.Â
Ada beberapa masalah yang menghadang Nadiem dan diharapkan bisa diatasi dengan kekuatan pada dirinya.
Pertama, perihal pendataan sumberdaya manusia di Kemendikbud, yakni guru, tenaga kependidikan, dan siswa atau mahasiswa. Seperti diketahui data adalah lebih berharga dari minyak bumi, ini kata Jokowi. Inilah tantangan Nadiem untuk pendataan di Kemedikbud.
Dalam kasus siswa, jumlah dan penyebarannya sudah terdata dengan di Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Tapi bagaimana dengan pendataan kualitas siswa, mahasiswa, guru, tenaga kependidikan, dosen? Berapa persen anak dengan intelegensi tinggi seluruh Indonesia? Apa saja potensi siswa di seluruh Indonesia? Fasilitas seperti apa yang benar-benar dibutuhkan mereka? Teknologi ditantang untuk mengumpulkan data yang berharga ini dengan akurat yang akan menjadi dasar kebijakan selanjutnya.
Data guru juga menjadi masalah dalam hal akurasi. Di satu sisi, ada suara tentang kekurangan guru. Tapi dalam versi lain, jumlah guru termasuk honorer ternyata sangat banyak. Ada sebanyak 3 juta guru di Indonesia. Â Guru honorer saja ada 735 ribu orang. Dari sisi kuantitas, menjadi pertanyaan apakah kita kekurangan guru? Menurut perhitungan kasar, Â perbandingannya 1 guru dibandingkan 17 siswa. Tapi ada problem dengan sistem pendataan, mereka diduga berkumpul di area nyaman seperti perkotaan. Lalu ide memindah guru ke lokasi lain tidaklah mudah karena menimbulkan penolakan. Nadiem sebagai pakar pendataan saatnya untuk beraksi memetakan guru bukan saja kuantitas, tapi juga kualifikasi mereka. Tanpa pendataan yang akurat, sulit membuat keputusan tepat.
Saat ini peminat guru meningkat. Jurusan pendidikan dibanjiri mahasiswa. Ribuan lulusan guru setiap tahun dari fakultas pendidikan. Apakah mereka akan terserap? Inilah yang yang harus dikoordinasikan. Lima tahun terakhir, kementerian pendidikan tinggi terpisah dengan Kemendikbud. Kali ini dua kementerian itu disatukan. Mestinya lebih mudah dikoordinasikan, karena harus ada koneksi kuat antara pendidikan dasar menengah dengan pendidikan tinggi.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pendataan anggaran yang akurat. Ke mana dana Rp 35 triliun di Kemendikbud mengalir? Lalu sekarang ditambah dana Dikti Rp 40,6 triliun.
Pemetaan detail sangat diperlukan, sekali lagi teknologi akan sangat membantu. Kita harus fokus pada program untuk mempersiapkan sumber daya yang memiliki kompetensi dan karakter kuat.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!