Â
Dalam catatan Nederlandsch-Indische Bladen Voor Diergeneeskunde Deel XLIV 1932 (Jurnal Pengobatan Hewan di Hindia Belanda Bagian 44 tahun 1932) terdapat satu tokoh yang diketahui memiliki peranan cukup besar dalam perkembangan pendidikan kedokteran hewan di Hindia Belanda.Â
Dia adalah Dr. H. J. Smit, seorang dokter hewan berkebangsaan Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1908. Lantas apa sebetulnya peran Smit dalam perkembangan pendidikan kedokteran hewan di Hindia Belanda? Kapan dan bagaimana pendidikan kedokteran hewan mulai menjadi urgensi bagi pemerintah Hindia Belanda? Simak penjelasan di bawah ini.
Lahirnya Pendidikan Kedokteran Hewan di Hindia Belanda
Situasi politik di Hindia Belanda memanas pasca reformasi pemerintah tahun 1800. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai pemberontakan rakyat di berbagai wilayah Hindia Belanda mulai dari Perang Diponegoro (1825 -- 1830) hingga Perang Aceh (1872--1898).Â
Kondisi peperangan ini berlangsung kurang lebih selama 100 tahun dan menyebabkan krisis di bidang sosial ekonomi. Di samping itu, buntut dari permasalahan ini juga merambah pada persoalan gagal panen dan wabah penyakit hewan seperti pes pada sapi (Rinder Pest) tahun 1875, penyakit "ngorok" (Septichaemia Haemorrhagica) dan radang limpa (Anthrax) tahun 1884, dan lain sebagainya.
Dalam buku 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia: Sejarah, Kiprah, dan Tantangan dijelaskan bahwa untuk mengatasi masalah penyakit hewan pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah mulai mendatangkan dokter hewan dari Negeri Belanda sejak tahun 1820. Akan tetapi, unit resmi yang bertugas dalam menanggulangi penyakit hewan baru dibentuk pada 24 Desember 1851 dengan nama "Veeartsenijkundige Dients" (Dinas Kedokteran Hewan). Meskipun begitu,  jumlah anggotanya masih sangat terbatas. Â
Kondisi wabah penyakit hewan semakin lama semakin mengkhawatirkan. Hal ini tidak sebanding dengan jumlah tenaga dokter hewan yang didatangkan dari Belanda. Maka dari itu, muncul gagasan untuk mendidik tenaga dokter hewan pribumi di Hindia Belanda. Sebagai bentuk implementasi, pemerintah Hindia Belanda menugaskan J. van Der Helde untuk mendirikan dan memimpin Sekolah Dokter Hewan di Surabaya pada tahun 1861.Â
Kendati begitu, lembaga pendidikan ini tidak bertahan lama dan dibubarkan pada tahun 1875 dengan jumlah siswa yang lulus sebanyak tiga orang. Hal serupa juga terjadi pada Sekolah Dokter Hewan di Purworkerto yang hanya berhasil mencetak sembilan orang siswa pada tahun 1880.
Selama akhir abad ke-19, usaha untuk mendirikan Sekolah Dokter Hewan pribumi terus mendapat lampu merah dari berbagai pihak, khususnya dari Directeur van Departement Onderwijs, Eexedienst en Nijverheid (Direktur Departemen Pengajaran, Agama dan Industri) dan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Â atau Sekolah Dokter Jawa.Â
Prododjihardjo dalam 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia: Sejarah, Kiprah, dan Tantangan menjelaskan bahwa penolakan pendirian sekolah dokter hewan datang dari kalangan militer Belanda, L.J. Hoogkamen dengan alasan "pendidikan dokter hewan pribumi akan membahayakan posisi dokter hewan Belanda."
Kendati begitu, Keputusan Gubernur Jenderal van der Wijk  pada tahun 1895 justru menegasi pernyataan dari Hoogkamen. Gubernur Jenderal van der Wijk menugaskan Scherer untuk membuka jurusan kedokteran hewan di Hindia Belanda dengan lulusan sebagai ajun dokter hewan.Â
Para ajun dokter hewan tersebut berasal dari kalangan pegawai Binnenlandsch Bestuur (Pamong Praja) yang bisa menulis dan membaca menggunakan Bahasa Melayu. Meskipun demikian, perekrutan ajun dokter hewan tersebut masih kurang memadai untuk menangani masalah kesehatan hewan yang ada di Hindia Belanda.
Transformasi baru terlihat ketika Ratu Wilhemina mengeluarkan kebijakan Politik Etis di Hindia Belanda pada tahun 1901. Sebagaimana yang diungkapkan Niel dalam buku Munculnya Elit Modern Indonesia, kebijakan ini didasari pada semangat luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat Hindia Belanda meliputi pendidikan, pengairan, dan perpindahan penduduk. Â
Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan Gouvernementbesluit (Keputusan Pemerintah) 1 Februari 1907 No. 25 yang berisi pembangunan laboratorium khusus menangani penyakit hewan  yang dikenal dengan nama "Veeartsenijkundige Laboratorium" di daerah Tjikeumeuh Buitenzorg atau yang saat ini dikenal sebagai daerah Cimanggu Bogor. Dengan menelan biaya sebesar 48.000 gulden, pembangunan pun dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Eksistensi Veeartsenijkundige Laboratorium tidak terlepas dari peran dua ilmuwan Belanda, Prof. Melchior Treub dan Dr. De Does. Does sendiri merupakan sosok yang mencanangkan pembangunan laboratorium tersebut. Sementara itu, Treub yang kala itu berperan sebagai Directeur van Departement van Landbouw, Nijverheid, en Handel (Direktur Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan) mendukung gagasan tersebut sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan.Â
Terlebih lagi, persoalan mengenai kesehatan hewan telah menjadi wewenang Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan selaras dengan Staatsblad (Lembaran Negara) No. 380 tahun 1904. Sebagai upaya tindak lanjut, pemerintah lantas  melengkapi laboratorium itu dengan sebuah Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda atau Nederlansch Indische Veeartsenschool yang dibuka pada tahun 1908 dibawah pimpinan Prof. Dr. L. De Blieck.
Dr. H.J. Smit dan Sekolah Kedokteran Hewan
Sebagai sebuah lembaga baru, sekolah kedokteran hewan pribumi memerlukan banyak tenaga dokter hewan Belanda. Melalui Gouvernementbesluit (Keputusan Pemerintah) 3 November 1908 No. 3, pemerintah lantas menunjuk seorang dokter berkebangsaan Belanda, Dr. H.J. Smit, untuk ditempatkan di Buitenzorg atau Bogor. Kehadiran dari Smit dibutuhkan dalam rangka pengembangan lembaga Veeartsenijkundige Laboratorium (Laboratorium Penyakit Hewan) dan Nederlansch Indische Veeartsenschool (Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda).
Jurnal Pengobatan Hewan di Hindia Belanda Bagian 44 tahun 1932 mencatat bahwa Dr. H.J. Smit digambarkan sebagai seseorang yang piawai dalam berbagai bidang. Hal ini dibuktikan dengan tugasnya yang tidak terbatas pada Veeartsenijkundige Laboratorium, tetapi juga menjadi pengajar di Middelbare Landbouwschool Buitenzorg (Sekolah Pertanian Menengah Atas). Sebelum akhirnya menjadi pengajar di Nederlansch Indische Veeartsenschool pada tahun 1910.
Selama kurang lebih sembilan tahun Smit mengabdi sebagai pengajar tetap di Sekolah Kedokteran Hindia Belanda dan selama masa itu pula Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda berhasil melahirkan beberapa lulusan pribumi. Beberapa diantaranya seperti, Drh. J.A. Kaligis yang tercatat sebagai lulusan pertama sekolah tersebut (lulus pada  tahun 1910), Drh. R. Noto Soediro dan R. Soetedjo (lulus tahun 1911), Prof. Drs. M. Soeparwi (lulus tahun 1915), Dr. A.F. Waworentoe (lulus tahun 1917) pendiri Lembaga Virologi Kehewanan, R. Djaenoedin (lulus tahun 1917) Asisten Kepala Veeartsenijkundige Instituut, Drh. Anwar Nasution (lulus tahun 1917) penemu bakteri botulisme pengganti fosfor untuk pemberantasan tikus sawah, dan J. Mohede (lulus tahun 1917).
Mengacu kepada Verslag over de Burgelijke Openbare Werken in Nederlandsch Indie over de Jaren 1925, 1926, 1927, en 1928 (Laporan Departemen Pekerjaan Umum dan Sipil di Hindia Belanda tahun 1925, 1926, 1927, dan 1928) diketahui jumlah siswa di Nederlandsch Indische Veeartsenschool pada tahun 1907 hanya berjumlah dua orang. Jumlah tersebut secara berangsur meningkat, dibuktikan melalui jumlah lulusan dokter hewan pribumi selama periode 1907 hingga tahun 1919. Â
Dr. H.J. Smit kemudian diangkat menjadi Direktur Sementara Nederlandsch Indische Veeartsenschool pada tahun 1919. Namun, karena kondisi kesehatannya yang memburuk, Smit memutuskan untuk cuti dan kembali ke Belanda pada tahun 1920. Selama masa cutinya, Smit menamatkan studi diploma di bidang kedokteran gigi. Dua tahun berselang, Smit kembali ke Hindia Belanda dan tepat pada Agustus 1922, Smit resmi diangkat menjadi Direktur Tetap Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda Nederlandsch Indische Veeartsenschool.
Seiring berjalannya waktu, Laboratorium Penyakit Hewan dan Sekolah Kedokteran Hewan yang berlokasi di Cimanggu Bogor mengalami pertumbuhan pesat dan memerlukan adanya perluasan dan peningkatan fasilitas. Prodjodihardjo dalam 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia: Sejarah, Kiprah, dan Tantangan menjelaskan bahwa perkembangan kedua lembaga tersebut bisa saling mengganggu, jika keduanya masih berada di lokasi yang sama. Maka dari itu, pada tahun 1920 pemerintah melakukan pemisahan direksi antara Veeartsenijkundige Laboratorium dengan Nederlandsch Indische Veeartsenschool.Â
Pemisahan direksi antara kedua lembaga ternyata tidak dapat menjadi solusi final dari permasalahan yang ada. Laporan Departemen Pekerjaan Umum dan Sipil di Hindia Belanda tahun 1925, 1926,1927, 1928 menjelaskan kondisi bangunan Sekolah Kedokteran Hewan yang cukup memprihatinkan.Â
Sekolah Kedokteran Hewan yang berdampingan dengan Laboratorium Penyakit Hewan tersebut dibangun dengan saranan terbatas, hanya terdiri dari klinik dan ruang operasi. Laporan dari Departemen Pekerjaan Umum dan Sipil juga menggambarkan bagaimana kondisi ruang kelas, yang tidak lebih dari sekadar gudang bambu. Â Maka dari itu, pemindahan lokasi sekolah kedokteran hewan menjadi hal yang tidak terelakkan lagi.Â
Pemindahan Lokasi Sekolah Kedokteran Hewan ke Kedoeng Halang
Dr. H.J. Smit yang bertindak sebagai direktur dari Nederlandsch Indische Veeartsenschool mencanangkan pemindahan lokasi sekolah kedokteran hewan pada tahun 1927. Gayung pun bersambut, ketika Gemeente Buitenzorg (Pemerintah Kota Bogor) yang pada saat itu melakukan perluasan kota menawarkan tanah Kedoeng Halang (saat ini merupakan Gedung Science Techno Park IPB di kawasan Taman Kencana Bogor). Â
Rencana pembangunan dari Dr. H.J. Smit juga dijelaskan dalam  Laporan Departemen Pekerjaan Umum dan Sipil di Hindia Belanda tahun 1925, 1926, 1927, dan 1928.  Smit berencana mendirikan Sekolah Kedokteran Hewan di tanah Kedoeng Halang dan membongkar bangunan sekolah yang lama untuk keperluan perluasan Laboratorium Penyakit Hewan.Â
Rencana pembangunan Sekolah Kedokteran Hewan di tanah Kedoeng Halang disetujui oleh pemerintah melalui Gouvernementbesluit Agustus 1927 No. 11 dan menelan biaya sebesar 207.000 gulden. Pembangunan tersebut berjalan lancar dan dapat diselesaikan dalam waktu 10 bulan. Tepat pada 30 Juni 1928, gedung tersebut diresmikan oleh Dr. H.J. Smit. Dalam acara peresmian itu, Smit melakukan pembukaan dengan memaparkan sejarah dari Nederlandsch Indische Veeartsenschool (Sekolah Kedokteran Hewan Hindia Belanda).Â
Pembukaan gedung sekolah yang baru mendapat antusias besar dari berbagai pihak. Dalam surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant 2 Juli 1928 disebutkan bahwa beberapa tokoh penting ikut berkhutbah dalam acara peresmian tersebut diantaranya, Kepala Dinas Kedokteran Hewan Hindia Belanda (J.L. van Eck), Walikota Bogor (J.M. Wesselink),  Direktur Departemen Pertanian (Dr. C. Bubberman).Â
Sementara itu, gedung sekolah yang baru mulai digunakan per tanggal 30 Juni 1928. Pembangunannya mendapat sentuhan langsung dari tangan Dr. H.J. Smit. Bahkan, desain dari bangunannya menggambarkan kepraktisan dan bakat artistik dari Smit. Berikut adalah tata letak gedung Sekolah Kedokteran Hewan di Kedoeng Halang berdasarkan Laporan Departemen Pekerjaan Umum dan Sipil di Hindia Belanda tahun 1925, 1926, 1927, dan 1928, 1) Gedung utama (ruang manajemen administrasi, departemen kimia, departemen fisika), 2) Gedung bagian Barat (departemen anatomi, klinik (ruang kelas, ruang operasi dan kediaman asisten pengajar), departemen patologi), 3) Gedung bagian Utara (departemen penyakit menular dan ruang perawatan hewan), 4) Komplek bagian Selatan (terdiri atas kandang, gudang, sekolah berkuda, lapangan ternak).
Berdasarkan tata letak gedung sekolah kedokteran hewan yang baru, dapat diketahui aktivitas yang dilakukan para siswa mengalami perkembangan. Semula hanya terbatas pada satu gedung (klinik dan operasi) kini dibagi berdasarkan kejuruan. Mulai dari ilmu pengetahuan alam (kimia dan fisika), ilmu kedokteran hewan (anatomi, patologi, penyakit menular), hingga perawatan dan peternakan hewan.Â
Namun, reformasi yang paling besar adalah pembangunan ruang terpisah antara ruang kelas, ruang operasi dan ruang perawatan hewan. Menurut catatan surat kabar De Avondpost 30 Desember 1932, pembangunan ruang terpisah itu membuat kagum para ilmuwan bahkan dikatakan sebagai hal  yang patut dibanggakan oleh Veeartsenijkundigen Dienst in Indie (Dinas Kedokteran Hewan di Hindia Belanda).
Dampak positif dari pembangunan tersebut terlihat pada peningkatan jumlah siswa, semula berjumlah dua orang menjadi lima puluh orang pada tahun 1929. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 1943 berhasil mencetak 143 lulusan dokter hewan pribumi.Â
De Avondpost 30 Desember 1932 juga menyatakan bahwa para dokter hewan pribumi lulusan sekolah tersebut mendapat posisi yang baik di Dinas Kedokteran Hewan. Sebut saja R. Djaenoedin (lulus pada tahun 1917) yang berhasil menjadi Asisten Kepala Lembaga Penelitian Penyakit Hewan, atau pun Drh. R. Soejono (lulusan tahun 1933) Â yang menjadi Inspektur Kepala Dinas Kehewanan Jawa Tengah, dan masih banyak lagi.Â
Peran Smit dalam Bidang Kedokteran Hewan Secara Ilmiah dan Kepulangannya ke Belanda
Di bidang keilmuan, Dr, H.J. Smit dikenal sebagai ahli patologi. Bahkan, Smit membangun gedung khusus departemen tersebut. Mengacu kepada Jurnal Pengobatan Hewan di Hindia Belanda Bagian 44 tahun 1932, salah satu penelitiannya yang terkenal adalah identifikasi kasus kuda pincang di Fort de Kock (Bukittinggi) dengan diagnosa tumor yang berasal dari Hematoma Intermuskular. Selain itu, menurut catatan De Avondpost 30 Desember 1932, Smit diketahui cukup banyak menerbitkan buku, khususnya mengenai Veterinaire Parasytologie atau Parasitologi Kesehatan Hewan.Â
Selain itu, Smit juga merupakan anggota aktif Natuurwetenschappelijken Raad in Nederlandsch-Indi (Dewan Ilmu Pengetahuan Alam di Hindia Belanda). Maka, tidak mengherankan jika Smit mengalokasikan tempat bagi Departemen Fisika dan Kimia di komplek sekolah kedokteran hewan yang baru. Pertemuan dari dewan tersebut juga secara rutin diadakan di komplek Sekolah Kedokteran Hewan di Kedoeng Halang.Â
Sesuai dengan Gouvernementbesluit (Keputusan Pemerintah) 30 November 1932 No. 27, Smit diberhentikan secara hormat dan diberi penghargaan atas kontribusinya terhadap negara. Masih menurut Jurnal Pengobatan Hewan di Hindia Belanda Bagian 44 tahun 1932, Dr. H.J. Smit dan istrinya kembali ke Belanda pada 21 Desember 1932 dini hari menggunakan kapal melalui pelabuhan Tanjung Priok. Dalam proses kepulangannya, Smit mendapat salam perpisahan yang hangat dari para koleganya dan telah dianggap sebagai salah satu dokter hewan terkemuka di Hindia Belanda. Â
De Avondpost 30 Desember 1932 juga menggambarkan kepergian dari Dr. H.J. Smit sama dengan kehilangan salah satu pegawai pemerintah yang sangat dihormati di kalangan rekan dan mahasiswanya. Meskipun begitu, hasil karya dari Smit berdiri kokoh bahkan setelah Ia pensiun. Sekolah Kedokteran Hewan Kedoeng Halang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak hanya terbatas pada ilmu kedokteran hewan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H