Mohon tunggu...
Muhammad Rigan Agus Setiawan
Muhammad Rigan Agus Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Rigan

Mahasiswa Ilmu Sejarah UI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kerajaan Aru: Kisah Negeri Perompak yang Kalah di Tanah Emas

17 September 2023   13:24 Diperbarui: 17 September 2023   13:29 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reid, Anthony, et al., A History of Southeast Asia Critical Crossroads, (2015), hlm. 126

'Muliakanlah laut dan tinggalah di darat', melalui pernyataan tersebut Braudel menegaskan pentingnya laut bagi kehidupan manusia (Braudel, 1972: 14). Seperti yang kita ketahui, studi sejarah bangsa Indonesia hingga saat ini masih terlalu dominan pada fenomena-fenomena yang terjadi di daratan. 

Padahal, sebagian besar wilayah Indonesia merupakan lautan. Sejak masa prasejarah, penduduk Indonesia merupakan para pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Laut bukanlah penghalang bagi mereka, melainkan sebagai faktor pemersatu. 

Bukti-bukti peninggalan benda prasejarah menunjukkan adanya hubungan antar kepulauan di Indonesia dengan berbagai daerah di Asia Tenggara, salah satunya adalah nekara perunggu yang menurut F. Heger tersebar di seluruh wilayah di Asia Tenggara (Poesponegoro, 2008: 7).  Maka dari itu, kehadiran perspektif kelautan dan kemaritiman amatlah penting agar kajian sejarah di Indonesia tidak terbatas pada pulau-pulau secara terpisah (Lapian, 1992: 3). 

Beberapa literatur yang sering dijadikan sebagai referensi awal perdagangan antara Asia Tenggara dengan India adalah kitab-kitab kesusastraan, seperti Jataka dan Ramayana. 

Kitab Jataka merupakan kitab yang berisi perjalanan kehidupan Sang Budddha yang menyebut daerah bernama Swarnabhumi sebagai daerah yang harus ditempuh penuh dengan bahaya. 

Swarnabhumi sendiri berarti negeri emas, yang diperkirakan merujuk pada daerah sebelah timur Teluk Benggala. Dalam kitab lain, yakni Ramayana disebutkan negeri bernama Yawadwipa, di daerah tersebut terdapat pulau bernama Swarnadwipa (pulau emas) yang diperkirakan merujuk kepada pulau Sumatera. Dalam referensi lain juga disebutkan bahwa Yawadwipa biasa digunakan untuk menyebut pulau Jawa, sedangan Swarnabhumi dan Swarnadwipa digunakan untuk penyebutan pulau Sumatera (Burhanuddin, 2003: 177).

Menurut Coedes, pada masa tersebut India kehilangan sumber emas mereka yang utama, yakni Siberia. Pada mulanya, mereka mencoba mengimpor emas dari Kerajaan Romawi, tetapi dihentikan oleh Kaisar Vespanius. Maka dari itu, India beralih ke daerah timur. Hal ini didukung pula oleh hipotesis dari J.C. Van Leur yang menyatakan bahwa perdagangan pada masa itu menekankan pada komoditas yang Luxury seperti emas, perak, mutiara juga rempah-rempah (Lapian, 1997: 18). 

Sementara itu, catatan Cina memberikan pandangan yang lebih memuaskan, tetapi belum terlalu lengkap. Salah satunya adalah catatan Dinasti Han pada dekade terakhir abad pertama. Pada tahun 111 SM, Kaisar Cina melakukan perluasan wilayah ke Cina Selatan (Hall, 2019: 38). Akan tetapi, bukti yang dapat menggambarkan perjalanan Cina ke Selatan berasal dari abad ke-5, yakni berita perjalanan Fahsien dan Gunavarman yang merupakan para pendeta Buddha. 

Mereka menempuh perjalanan ke Srilanka dan melewati Yeh-p'o-t'i atau Yawadwipa. Dari bukti-bukti di atas, kita dapat mengetahui adanya hubungan antara Indonesia dengan India juga Cina yang sudah dimulai sejak abad ke-2 Masehi, tetapi mulai berkembang pada abad ke-5 Masehi yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Kutai dan Tarumanegara.

Linear dengan perkembangan waktu, proses indianisasi terus mengalami peningkatakan, hal ini dibuktikan dengan berkembangan kerajaan-kerajaan besar yang bercorak Hindu-Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya (8--15 M). Kerajaan-kerajaan tersebut banyak berhubungan dengan bangsa lain, seperti halnya Cina dan India, wilayah mandalanya yang luas menjadikan kerajaan-kerajaan tersebut eksis dalam waktu yang lama. 

Sejalan dengan hal itu, beberapa kerajaan memiliki pelabuhan dan negeri-negeri vassal (bawahan) yang seringkali menjadi tempat persinggahan dari lalu lintas perdagangan. Misalnya, Majapahit menurut Vlekke besarnya hampir sebesar Nederlands-Indie atau Indonesia yang sekarang (Lapian, 1997: 90-91). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun