Mohon tunggu...
Rifty Octapiani F
Rifty Octapiani F Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan UI

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Keperawatan: Strategi untuk Meningkatkan Kompetensi Peka Budaya Perawat

10 Juni 2024   15:17 Diperbarui: 10 Juni 2024   15:29 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kontinum Kompetensi Budaya (Dokpri) 

Perawat merupakan profesi yang memiliki kemampuan merawat pasien dengan setulus hati. Dalam UU RI No. 38 Tahun 2014 tentang keperawatan, pelayanan yang diberikan oleh seorang perawat harus secara profesional serta didasari oleh ilmu keperawatan sehingga asuhan keperawatan mampu diaplikasikan kepada seluruh pasien meliputi individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

Indonesia memiliki banyak keberagaman suku dan budaya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2015, sebanyak 600 lebih kelompok suku besar tersebar di seluruh Nusantara. Keberagaman budaya ini mampu memberikan keuntungan serta menjadi tantangan bagi seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Berdasarkan penelitian Ari dkk (2016) yaitu mengidentifikasi penatalaksanaan budaya yang berbeda di bangsal perawatan menurut Sunrise Model oleh Leininger kepada sepuluh perawat di RSUP Sanglah Denpasar, kendala perawat saat mengabaikan budaya pasien yaitu kegagalan interaksi sehingga komunikasi menjadi terhambat, dan keyakinan pasien terhadap budaya mempengaruhi keputusan pasien selama perawatan di rumah sakit. Hambatan komunikasi dan keyakinan pasien ini dapat mengganggu pengambilan keputusan secara cepat dan tepat, atau pada akhirnya dapat menimbulkan konflik. Berdasarkan hal tersebut, perawat perlu memiliki strategi serta memiliki kompetensi untuk memahami dan menghormati nilai-nilai keragaman budaya pasien agar memudahkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang peka budaya. Namun, sebelum menentukan strategi, seorang perawat perlu memahami sejauh mana tingkat kompetensi budaya dalam dirinya, sehingga bisa menjadi seorang perawat yang peka budaya. Salah satu theorist keperawatan yaitu Madeleine Leininger sebagai pencetus keperawatan transkultural, menjadi pedoman bagi perawat untuk lebih peka terhadap budaya pasien dalam memberikan asuhan keperawatan. Keperawatan transkultural menurut Leininger dalam Gonzalo (2024) merupakan area keilmuan budaya ketika proses pembelajaran, baik teori maupun prakteknya, berfokus pada perbedaan dan kesamaan di antara budaya dengan cara menghargai asuhan, sehat-sakit yang didasarkan pada nilai-nilai budaya manusia, kepercayaan, dan perilaku. Hal penting lainnya yakni dapat diaplikasikan saat memberikan asuhan keperawatan budaya/keutuhan budaya pada manusia.

Agar bisa peka terhadap budaya pasien, seorang perawat harus memiliki kompetensi budaya yang positif. Kompetensi budaya adalah keseluruhan perilaku, praktik, sikap, serta kebijakan kongruen yang bersatu dalam sebuah sistem profesional sehingga kemungkinan metode yang efektif dapat dilakukan lintas budaya (Novieastari, 2024). Kontinum kompetensi budaya memiliki enam tahapan (Gambar 1), yaitu:

1) Cultural destructiveness (penghancuran budaya), yaitu percampuran secara paksa, adanya penaklukkan atau keistimewaan suatu kelompok yang dominan, 2) Cultural incapacity (ketidakmampuan budaya), yaitu adanya rasisme, mempertahankan stereotip, atau terjadinya praktik perekrutan yang tidak adil, 3) Cultural blindness (kebutaan budaya), yaitu ketika perbedaan yang diabaikan, abai disini yaitu tidak memperlakukan semua orang dengan sama, hanya memenuhi kebutuhan kelompok dominan saja, 4) Cultural precompetence (pra-kompetensi budaya), adalah mengeksplorasi isu-isu budaya, berkomitmen, menilai kebutuhan organisasi dan individu, 5) Cultural competence (kompetensi budaya), yaitu mengenali perbedaan individu dan budaya, mencari nasihat dari berbagai kelompok, merekrut staf yang tidak memihak secara budaya, dan 6) Cultural proficiency (kemahiran budaya), yakni menerapkan perubahan untuk meningkatkan layanan berdasarkan kebutuhan budaya, melakukan penelitian, dan mengajar (Novieastari, 2024).

Kontinum kompetensi budaya tersebut dapat dianalisis dan dievaluasi oleh seorang perawat secara mandiri, sehingga perawat secara sadar mengetahui kepekaan budayanya terhadap pasien sudah sesuai (positif) atau belum (negatif). Ketika perawat secara sadar mengetahui kontinum kompetensi budayanya dimana, seorang perawat dapat mengevaluasi dan memperbaiki kompetensinya menjadi lebih baik/ke tingkat paling tinggi yaitu cultural proficiency (kemahiran budaya).

Daftar Pustaka

Ari, K, Putu & Arimurti. (2016). Studi Kualitatif: Identifikasi Penanganan Konflik Transkultural dalam Asuhan Keperawatan di Bangsal Perawatan RSUP Sanglah Denpasar, Berdasarkan Sunrise Model oleh Leininger. Universitas Udayana

Badan Pusat Statistik. (2015). Mengulik Data suku di Indonesia. URL: https://www.bps.go.id/id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html

Gonzalo, A. (2024). Madeleine Leininger: Transcultural Nursing Theory. URL: https://nurseslabs.com/madeleine-leininger-transcultural-nursing-theory/

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan

Novieastari, E. (2024). Perspektif Transkultural Perawatan. DKKD FIK UI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun