Barangkali saya sepakat dengan usulan Pak Marzuki Alie, Ketua DPR kita, yang menyarankan bahwa seharusnya UN ditunda secara serentak dan mencari alternatif tanggal pengganti pelaksanaan UN ulang. Mengapa? Karena ya itu tadi, faktor psikologis peserta UN. Jujur Pak Nuh, kasihan mereka yang ujian di belakang hari. Ada baiknya usulan Pak Jokowi, Gubernur DKI Jakarta juga dipertimbangkan, yaitu penggandaan soal diserahkan ke daerah agar pendistribusian berjalan lancar ke sekolah-sekolah.
Perhatikan pula kebijakan sentralistik pendidikan yang dianut sampai saat ini. Apakah pemerintah tahu bagaimana kemampuan siswa/i di daerah-daerah? Yang paling tahu adalah guru dan orang tua mereka. Apakah pemerintah tahu keseharian siswa/i di sekolah mereka? Tidak adil rasanya, jerih payah siswa/i bersekolah tiga tahun SMA ditentukan nasibnya di 'tangan' segelintir mata pelajaran. Tidak adil rasanya, UN dijadikan sebagai satu-satunya alat ukur kualitas pendidikan. Jujur, sampai sekarang saya masih geregetan sama Kemendikbud. Gimana sih kerja mereka? Diapakan saja anggarannya? Ngapain aja beberapa bulan sebelum UN kok distribusi soal tidak merata dan kualitas LJUN buruk?
Lagi-lagi, ketika rakyat seperti saya ini menyuarakan aspirasi keprihatinan terhadap sistem pendidikan kita, selanjutnya hanya pasrah dan berharap, berjuang lewat tulisan, berorasi lewat suara unjuk rasa, tetap saja membentur tembok tebal dan tingginya pagar 'mata dan telinga' mereka. Ya sudahlah, saya hanya bisa berharap ada pertimbangan dan evaluasi dalam pelaksanaan UN tahun depan. Ingat, tahun depan ada Piala Dunia 2014 di Brazil. Kalau memang rakyat atau pelajar Indonesia gila bola, seyogyanya pemerintah peka dengan tidak menempatkan jadwal UN di saat piala dunia, ah ini hanya bercanda.
Yang jelas, Pak Nuh, Kemendikbud, percetakan pemegang pengadaan soal, sampai pada pelaku distribusi soal harus bertanggung jawab sepenuhnya dunia akhirat. Kalau masih punya tabungan uang yang banyak, silakan sana pergi kunjungi sekolah-sekolah di 11 provinsi yang mengalami penundaan UN. Sapa para siswa/i yang Anda harapkan menjadi generasi emas Indonesia di masa mendatang, dengarkan keluh kesah, kekecewaan dan kemarahan mereka!
Rupa-rupanya pemerintah kita melupakan pesan yang terselip dari semboyan suci pendidikan kita, Tut Wuri Handayani. Wahai pemerintah, Pak Nuh, Dirjen-dirjen Kemendikbud atau apalah, percayalah kalau Ki Hajar Dewantara kini sedang menangis di alam sana.
Rifqy Faiza Rahman (22), Mahasiswa Semester 8 Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Traveller, Travel Writer di respectbywalk.blogspot.com, dan Pendiri Komunitas Travelling GAMANANTA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H