Trenyuh hati saya setelah membaca artikel dari saudari Arita Gloria Zulkifli, siswi SMA Charitas. Dalam artikel tersebut terlihat jelas betapa kecewa dan marahnya ia kepada pemerintah. Kita tidak dapat melihat ekspresi wajahnya secara langsung, namun dari tulisannya kita sudah tahu sendiri. Saya angkat bicara kali ini, berusaha menyampaikan keluh kesah saya tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2013 ini. Banyak latar belakang tersampaikannya isi hati saya ini, saya pernah merasakan menjadi siswa SMA dan adik kandung saya tanggal 22 April mendatang berjuang di UN SMP.
Awalnya saya merasa tenang-tenang saja ketika H-3 UN, distribusi soal di beberapa daerah, utamanya di luar pulau Jawa masih tersendat dan bahkan ada yang belum sampai di tingkat daerah. Begitu hari-H, saya terkejut melihat fakta bahwa sekitar 11 provinsi mengalami penundaan UN karena belum datangnya soal dari pusat dan keterbatasan jumlah soal. Terang saja, kejadian yang aneh ini menjadi headline utama di berbagai lini media. Hampir semua siswa yang diwawancarai media setempat, kompak menyalahkan satu-satunya tersangka yang tampaknya akan menjadi penjahat pendidikan paling sadis sepanjang masa: Pemerintah.
Hampir semua lini pelaksanaan UN kacau balau, mulai dari distribusi sampai pada kualitas lembar jawaban ujian yang buruk. Kali ini berita mengenai perjokian ataupun contek massal yang biasanya mendominasi penyelenggaraan UN setiap tahun, sangat kalah jauh bergaung dibandingkan problem yang riil terjadi saat ini. Kasus tidak lulus massal yang pernah terjadi di Ngawi beberapa tahun lalu, aksi perjokian, sampai pengucilan yang pernah dialami Abrar dan bundanya dalam menegakkan kejujuran. Filmnya yang terbaru berjudul "Temani Aku Bunda" adalah cerminan yang seharusnya membuat semua pihak terkait sadar akan terbaliknya fakta bahwa penegakan kejujuran malah membuat mereka dikucilkan di masyarakat. Tapi, saya percaya semua itu kalah gaungnya dengan kacaunya UN tahun ini.
Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, selalu memiliki strategi yang unik dan heboh dalam pelaksanaan UN, secara khusus saya menyebutkan pemaketan soal untuk memerangi kasus perjokian dan contek massal. Tahun ini, bahkan dibuatkan 20 paket soal untuk satu kelas! Seolah-olah Kemendikbud hanya berorientasi bahwa problem paling utama dalam UN adalah percontekan.
Apakah Kemendikbud tidak melihat apa penyakit sesungguhnya dalam kekacauan UN?
Apakah adil mereka menyalahkan pihak sekolah dan daerah ketika kasus contek-menyontek terjadi?
Apakah adil mereka menyalahkan siswa yang tidak lulus UN karena kurang rajin belajar, sementara mereka sebenarnya adalah penyebab utama kacaunya UN tahun ini?
Mengapa mereka tidak introspeksi diri dan belajar dari kesalahan tahun sebelumnya?
Butakah mereka akan gaji besar yang mereka peroleh saat menggarap proyek UN?
Saya berani katakan tidak adil! Pemerintah kita, sangat mengharapkan generasi muda terdidik di Indonesia berprestasi dan bisa lulus UN tahun ini dengan nilai memuaskan, tapi mereka sendiri malah memberi 'fasilitas' UN yang jauh dari harapan. Para siswa/i butuh suasana kondusif untuk mendukung terwujudnya prestasi. Apa pemerintah gak mikir bagaimana perasaan siswa/i di 11 provinsi yang tertunda ujiannya ketika melihat kawan-kawan seperjuangan mereka di 28 provinsi lain sedang dan sudah melaksanakan ujian dengan lancar? Apa mentang-mentang mereka di luar pulau sehingga dijadikan kendala dalam distribusi soal ujian? Jujur, kalau saya jadi siswa di NTB, NTT, Bali, Sulawesi, Maluku, atau Kalimantan melihat kenyataan itu, pertama saya akan sangat down. Mereka yang di 28 provinsi sudah lebih dari separuh jalan, sedangkan saya belum apa-apa. Mental dan fokus akan luruh seketika karena sudah jauh-jauh hari belajar keras, eh, kecele karena ujian ditunda. Beruntung, guru-guru dan orang tua mereka sangat pro aktif untuk menenangkan psikologis mereka. Teman-teman dari daerah lain yang sudah melaksanakan ujian juga memberikan semangat kepada kenalan-kenalan mereka di luar daerah. Sungguh tanggung jawab moral yang bagus, dibandingkan pemerintah negeri ini.
Lalu bagaimana dengan pengadaan soal yang amburadul, dari segi distribusi maupun kualitas? Bagaimana sih transparansi Kemendikbud ketika menentukan tender perusahaan percetakan? Mengapa bisa sampai begini kejadiannya? Itulah yang saya, kita, para siswa/siswi dan sekolah perlu tahu. Contoh, Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) yang kata Arita lebih buruk daripada lembar jawaban try-out. Saya yakin masyarakat akan sangat marah kalau tahu-tahu nanti muncul berita bahwa sekian persen siswa/i tidak lulus dikarenakan memakai lembar jawaban yang hampir bolong dan tak terbaca pemindai. Lalu ada instruksi pak menteri pendidikan kita, M. Nuh, untuk fotokopi soal UN dengan pengawasan ketat. Ini kelihatan sekali kalau Kemendikbud sembarangan mencari solusi, soal yang 'sakral dan suci' begitu mudahnya difotokopi begitu saja. Ini namanya sudah bocor sebelum UN, bocor di tingkat tukang fotokopi.