Kebakaran hutan seolah menjadi rutinitas tahunan di setiap musim kemarau tiba. Seperti yang pernah terjadi di kawasan hutan Gunung Arjuno. Padahal tak lama sebelumnya, kebakaran terjadi di kawasan hutan Gunung Argopuro. Yang membuat khawatir adalah di Gunung Argopuro cukup banyak spesies tanaman dan hewan endemik alias langka. Kalau kebakaran tersebut meluas, maka tak heran mereka bisa terancam punah atau bermigrasi ke daerah yang rawan konflik dengan manusia.
Memang, keringnya dedaunan, ranting, dahan, dan rerumputan pada kawasan hutan dapat terpercik sendirinya karena sinar matahari akibat proses kebalikan dari fotosintesa, yang mana proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat. Itu adalah kejadian alami, dan pohon jati pun akan melakukan ritual meranggas kala musim kemarau tiba untuk menyimpan air. Tentu ada campur tangan Allah di dalamnya. Jika memang demikian, maka tentu kita tidak perlu dan bahkan tidak berhak menyalahkan Allah. Namun, akan berbeda cerita ketika penyebab kebakaran hutan itu akibat ulah manusia, yang sampai saat ini saya meyakini penyebab tersebut ikut andil dalam sebagian besar munculnya si jago merah yang melalap hutan.
Dalam ilmu membuat api unggun, ada tiga hal utama yang diperlukan agar api dapat menyala, yaitu udara sekitar, panas, dan bahan bakar. Bagi pecinta wisata alam bebas tentu mengerti mengenai teknik membuat api unggun. Singkatnya, kayu yang kering, dahan, ranting, dedaunan, dan rerumputan kering adalah bahan bakar yang mujarab untuk mendukung api menyala. Pemerciknya dapat berupa korek api, sinar matahari (secara alami), atau beberapa teknik lainnya yang memerlukan keahlian dan kebiasaan khusus. Api unggun tentu akan memberi kehangatan di sekitarnya, dapat dinikmati, dan apabila mendapat perlakuan dan penanganan yang tepat, tentu tidak akan menimbulkan kerugian bagi lingkungansekitarnya. Namun bagaimana api unggun yang merugikan itu? Apa pemicunya?
Rokok yang terbuang secara sengaja maupun tak disengaja barangkali menjadi jawaban nomor satu, di antara beberapa jawaban lainnya. Orang yang mendaki gunung, mencari kayu bakar di hutan, dan berburu hewan di hutan, terkadang meluangkan waktunya dengan merokok untuk mengusir kelelahan, kejenuhan, dan kedinginan. Ketika satu sedot terakhir telah sampai pada ujungnya, maka dibuang begitu saja. Beberapa ada yang membawa pulang rokok yang dihisapnya, tapi mungkin kesadaran seperti itu hanya sepersekian dari sekian banyak yang kurang sadar.
Kekurangsadaran ini dimulai saat rokok dibuang ke tanah, ditinggal pulang, dan puntung rokok tergeletak di tanah. Sekilas mungkin bara api sudah mati, dan selesai sudah. Namun, itu akan menjadi kasus berbahaya apabila ternyata masih ada satu dua bara api yang ternyata masih bertahan setelah jatuh ke tanah, dan menularkan percikannya ke dedaunan kering, ranting, dahan yang jatuh, dan rerumputan kering. Berhubung dalam satu areal wilayah hutan yang luas itu seluruhnya kering, tak heran api yang hanya bermula dari sedikit bara itu menyebar dengan mudahnya, cepat tak terkendali. Hasilnya, seperti yang dilihat dalam beberapa media massa, foto-foto hutan yang tengah dilalap api di tengah kegelapan malam.
Jika kita melakukan semacam tadabbur alam, merenungi hutan-hutan itu, mencoba mendekati mereka, maka mungkin dalam hati hutan-hutan itu berkata demikian: “Ya Allah, mengapa aku terbakar sebelum waktunya? Apakah aku akan masuk neraka-Mu? Bukankah aku telah memberi oksigen sebagai udara yang sehat dan air untuk manusia? Bukankah sekarang belum kiamat?”. Burung-burung pun mungkin berkata: “Ya Allah, aku dan anak-anakku kehilangan rumahku tempat berteduh dan tidur yang musnah dilalap api. Andai saja dunia hewan memiliki menteri perumahan rakyat, aku tak akan repot mencari rumah lagi. Apakah aku harus pindah rumah ke hutan Gunung Semeru yang jauh itu? Ah, mereka sudah pernah terbakar. Atau hutan Gunung Raung dan Baluran yang mungkin masih alami? Tapi tempat itu sangat jauh, anak-anakku masih kecil, dan aku masih lelah mengepakkan sayapku, ya Allah”.
Saya tidak dapat menyalahkan rokok itu, karena ia hanyalah benda mati. Dia hidup karena ada yang membuatnya hidup, seolah-olah rokok dimanfaatkan menjadi tersangka utama penyebab kebakaran hutan dan menjadi kambing hitam. Yang keliru adalah manusia dan kesadaran jiwa yang ada di dalamnya, tempatnya salah dan lupa. Percayalah, hutan-hutan dan hewan itu berteriak kala terjebak api. Suara mereka tidak terdengar oleh kita, namun terdengar oleh Allah Yang Maha Mendengar. Alam hutan dan gunung tidak pernah melakukan pembalasan dengan membakar manusia, namun pembalasan itu dapat berupa tanah longsor dan banjir besar berlumpur yang hebat karena tererosinya tanah akibat tiadanya hutan yang utuh. Tidak tahu kapan, namun tinggal menunggu waktu saja. Saya rasa, hal yang dirasakan oleh hutan-hutan itu juga sama ketika mereka ditebang secara ilegal dan penebang itu turut berperan dalam “mengeringkan” Indonesia.
Tak perlu menunggu pihak berwenang turun tangan untuk sesuatu yang sudah terjadi. Dimulai saja dari kita sendiri, lebih baik melakukan tindakan yang preventif. Bagi yang sudah perokok tulen, diharapkan dapat menghindari kebiasaan membuang rokok di hutan atau bahkan mengurangi frekuensi merokok. Bagi yang belum merokok, jangan tergoda untuk ikut merokok, jadilah bagian dari pihak yang mengkampanyekan kelestarian lingkungan. Bagi pecinta api unggun, pastikan api sudah benar-benar dimatikan dan tidak nampak lagi titik bara api yang terlihat. Barangkali peringatan yang biasanya tertera pada produk rokok perlu ditambahkan lagi efek sampingnya. Dari yang semula “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUANKEHAMILAN DAN JANIN”, ditambahkan beberapa kata menjadi: “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN SERTA KEBAKARAN HUTAN”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H